Argumen Klasik yang umum untuk menolak Dwi Kewarganegaraan dan Jawabannya

Standard

10561538_10152823343688719_9046327145667242621_n

Foto diambil dari IDN-Website

Disini saya ingin menampilkan beberapa argumen klasik yang biasa ditemukan dalam pro dan kontra pemberian kewarganegaraan ganda.

Argumen ini saya kumpulkan dari hasil observasi pada proses perubahan kembali UU Kewarganegaraan Jerman yang efektif diberlakukan pada awal tahun ini.
Sebenarnya sudah pengen saya tuliskan sejak beberapa waktu lalu di blog saya, setelah tulisan yang pertama mengikuti turunnya berita reformasi UU tersebut. Cuma belum sempat-sempat juga hehehe.

1. Bagaimana dengan status hak-hak sipilnya? Kalau peraturan dikedua negara yang terkait bertentangan lantas mana yang harus dipakai?

Kita ambil contoh: hak-hak yang relevan dalam lingkup hukum keluarga, yaitu soal pernikahan, perceraian dan hak waris misalnya.
Hukum privat internasional pada dasarnya menetapkan bahwa hak-hak sipil nasional dari negara mana yang bisa diterapkan kepada seseorang, akan ditetapkan berdasarkan pada fakta dimana yang bersangkutan memiliki ikatan paling kuat dan efektif. Dalam hal ini biasanya yang berlaku adalah negara dimana subjek hukum tersebut dianggap tinggal menetap.

2. Kemungkinan akan adanya beban pajak berganda

Saya sempat juga menjadikan ini bahan pemikiran, sebelum saya akhirnya menemukan bahwa untuk masa sekarang ini argumen tersebut tidak lagi terlalu signifikan.
Pertama, karena jumlah negara yang secara prinsip menarik pajak dari rakyatnya yang berdomisili di luar negeri tidaklah banyak. Dan itupun biasanya masih disertai dengan batasan-batasan income tertentu yang bisa memungkinkan penduduk kelas menengah dan kebawah untuk menghindarinya dengan prosedur tertentu.
Untuk mencari tahu prosedur itu seperti apa dan apakah dia mau melakukannya ataukah lebih suka tidak memakai hak DK-nya, tentunya adalah tanggung jawab dan keputusan personal orang yang bersangkutan sendiri yang membutuhkannya.
Kedua, perjanjian bilateral dan multilateral adalah jawaban konkrit yang bisa menghindarkan seorang warga negara dari masalah tersebut.
Buat yang ingin tahu negara mana saja yang sudah punya perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan Indonesia, silahkan tengok link ini:

http://www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pajak&cat=p3b

3. Bagaimana dengan wajib militer?
Trend yang ada didunia saat ini adalah penghapusan wamil. Cuma tinggal sedikit negara yang masih menerapkannya. Disamping itu, dalam hal ini adalah sebuah pilihan personal, apakah seseorang ingin memiliki DK atau tidak. Yang jelas, hak selalu diiringi dengan kewajiban. Tugas negara yang ideal adalah memberikan pilihan yang rasional dan sesuai dengan kebutuhan menyesuaikan perkembangan situasi dan kondisi, dan kita sendirilah yang harus membuat pilihan itu. Setiap manusia dewasa dan sehat bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Dan usia 21 tahun adalah usia dewasa menurut hukum RI bagi seseorang untuk bisa dianggap layak membuat pilihan yang bisa berakibat hukum dan bertanggung jawab penuh atasnya.

4. Bagaimana Perlindungan Diplomatik bagi pemilik multi-kewarganegaraan?
Siapakah yang berhak untuk memberi perlindungan diplomatik bagi seseorang yang memiliki beberapa kewarganegaraan dan kebetulan mengalami masalah di luar negeri?
Potensi masalah yang lainnya lagi: Bagaimana jika pihak negara yang lain demi melindungi warganya ingin meng-intervensi penegakan hukum di negara lain dimana si warga tersebut juga berstatus warga negara yang sah dan melakukan pelanggaran hukum serius?
Terlepas dari fakta bahwa berdasarkan pengalaman, perseteruan tentang hal semacam itu sangat kecil kemungkinannya terjadi, Mahkamah Internasional pada tahun 1955 telah mengeluarkan keputusan bahwa untuk menetapkan pemilik hak perlindungan diplomatik kepada seseorang tidak hanya didasarkan kepada status kewarganegaraannya semata, melainkan juga dibutuhkan adanya hubungan yang erat dan dominan antara si subjek hukum dengan negara tersebut.
Jadi dalam hal ini, negara dimana yang bersangkutan memiliki domisili utama adalah yang paling berhak atasnya.
Dan dari sudut pandang pertimbangan HAM, dalam kasus untuk keselamatan jiwa si subjek DK (misalkan sedang dalam kondisi force majeur seperti bencana alam atau darurat perang dan semacamnya), maka negara yang berpotensi paling besar bisa menyelamatkan yang bersangkutan dengan lebih cepat dan efektif-lah yang akan diberikan akses pertama kepada subjek. Jadi yang menjadi prioritas adalah yang lebih menolong/baik bagi orang yang bersangkutan.
Pertanyaan yang kedua sendiri sampai masa seratus tahun yang lalu masih merupakan argumen penentang yang terkuat. Akan tetapi sejak adanya konvensi Hague pada tahun 1930 telah menjadi kesepakatan bahwa „Hak Perlindungan Diplomatik“ tidak bisa digunakan untuk melawan pemerintah sebuah negara, dimana subjek hukum yang bersangkutan juga berstatus sebagai warga negara yang sah.[1]

Meskipun begitu, kembali sejarah menunjukkan bahwa permasalahan semacam itu sangat kecil sekali kemungkinan terjadinya.
Fakta-fakta tersebut diatas menjadi dasar bagi Kementrian Luar Negeri Jerman untuk menegaskan bahwa pada prinsipnya tidak ada kesulitan-kesulitan yang cukup serius yang bisa menghambat pendampingan konsuler bagi pemilik kewarganegaraan ganda, jika hak untuk melakukannya memang ada.
Dan analog, Kementrian Luar Negeri Indonesia seharusnya juga akan memahaminya seperti itu.
Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan, apakah ada bedanya komplikasi antara “dwi” dengan “multi” kewarganegaraan.
Tentang adanya kemungkinan bahwa ada negara yang tidak mematuhi konvensi tersebut…well hmmm, jika memang ada negara yang mau melakukan hal semacam itu, yeah… saya rasa negara tersebut ngga akan menunjukkan perilaku yang berbeda apakah sang WN yang ingin diberi perlindungan diplomatik itu punya 1 kewarganegaraan atau lebih.
Negara yang cuek terhadap sebuah traktat yang disetujui bersama, tentunya pada dasarnya negara yang ngga “reliable” dan “akuntable” :-D.
This kind of countries will just do whatever they want and ignore any international law or convention anyway.
So it doesn’t make any difference anymore, whether one has a single or multi nationality with this country or not ^_^.
And finally: apakah sebuah negara bisa diintervensi dan diintimidasi oleh negara lain dalam hal penegakan hukum yang sah adalah selalu tergantung pada siapa pemerintah yang sedang memimpin disitu.
Jika saat ini, pemerintah negara sebesar Australia aja ngga bisa berbuat apa-apa untuk menekan pemerintah RI agar menuruti kemauan mereka demi melindungi warga negaranya saja (tidak memiliki kewarganegaraan indonesia), maka tidak ada alasan untuk berkata bahwa pemerintah RI yang ini akan bisa diintervensi penegakan hukumnya terhadap seseorang yang bahkan juga berstatus sebagai WNI.
Jadi… apakah kedaulatan sebuah negara dihargai oleh negara lain atau tidak, itu akan terletak pada pundak siapa yang bertanggung jawab menjaga hal itu saat itu.
Jadi dari sudut pandang ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sedangkan mengenai bahaya masuknya imigran yang ngga jelas atau merugikan… saya rasa hal itu selalu bisa dicoba diatasi dengan mekanisme administratif.
If Schengen Countries, USA, Australia etc could have certain procedures to let immigrants in and obtain PR or being naturalized, then we could definitely do the same thing before we allow them going back home.
Ide-ide untuk mengatasi hal ini, jika teman-teman memilikinya dan cukup rasional juga applicable… maka silahkan disampaikan kepada tim advokasi melalui E-Mail dibawah tulisan ini.
Hanya dengan begitu maka kekhawatiran akan bisa dicarikan jalan keluarnya. Lebih banyak kepala lebih baik bukan? Bukankah dengan atau tanpa dukungan semua orang perjuangan itu toh nyatanya tetap jalan terus dan sudah mencapai sejauh ini?!
Jadi kenapa tidak justru ikut membantu memikirkan bagaimana mengatasi problem yang dikhawatirkan tersebut? Daripada malah ditinggal dan masalahnya jadi terlewatkan untuk dibahas, sayang kan 🙂 ?

11084294_600306496771496_5521378667748898754_n (1)Untuk mengetahui perkembangan upaya revisi UU Kewarganegaraan RI, silahkan panteng terus chanel radio imsa dengan jadwal seperti dalam gambar disamping ini.

Dan bagi yang merasa membutuhkan adanya reformasi dalam UU Kewarganegraan tersebut, silahkan memberikan dukungan nyata agar nanti dalam menikmati hasilnya juga lebih plong karena merasa ikut punya andil gitu lho. Bantuan bisa disampaikan melalui beberapa rekening berikut ini (copas dari Halaman Facebook Tim Advokasi DK):

1. GOFUNDME: www.Gofundme.com/9200ek

2. PAYPAL : timadvokasidk@gmail.com

3. Check / Money Order, ke alamat :
Indonesian Diaspora Network (IDN) – USA
2130 Harvey Mitchell Parkway, #9837
College Station, TX 77840.
(jangan lupa untuk menuliskan alamat emailnya di dalam surat/mail, dan beri keterangan dalam setiap transfer: untuk tujuan apa transfer tsb, supaya jelas nanti penelusurannya)

4. Deposit dan Transfer, ke bank :
BNI KCP Plaza Semanggi.
Jl. Jend. Sudirman Kav. 50, Jakarta 12930.
A/n Yayasan Diaspora Indonesia Global.
No. account: 6116 6116 54.
SWIFT: BNINIDJAXXX
(tolong mengirimkan email kepada timadvokasi@yahoo,com setelah melakukan transfer dan menyertakan bukti transfer, scan/email/foto)

Salam Diaspora!

Terima Kasih,
Tim Advokasi Diaspora Indonesia

11103092_10152851907108719_1884215179116750967_o

Gambar diatas adalah tahap-tahap advokasi yang telah dan masih harus ditempuh untuk mencapai goal yang ditargetkan.
See you in my next post ;).

[1] http://eudo-citizenship.eu/InternationalDB/docs/Convention%20on%20certain%20questions%20relating%20to%20the%20conflict%20of%20nationality%20laws%20FULL%20TEXT.pdf

2 responses »

  1. Tentu saja. Semua UU itu adalah policy internal sebuah negara, jadi ya hanya berlaku internal, tidak bisa resiprokal. UU sebuah negara kan memang bukan traktat atau konvensi internasional, tentu saja cuma mengikat warga negaranya sendiri saja.
    Jadi memang jelas bahwa tidak semua orang akan bisa memanfaatkan itu.
    Tapi tetap saja hanya karena misalnya saya tidak bisa mendapatkannya lantas saya boleh menghalang-halangi orang lain yang ‘bisa’ mendapatkannya, tanpa adanya argumen rasional yang sifatnya general dan faktual. Karena itu artinya cuma sebuah perwujudan dari kecemburuan sosial ^_^.
    Tulisan ini inspirasinya adalah dari perubahan UU kewarganegaraan yang terakhir terjadi di Jerman, negara dimana saya saat ini tinggal dan teoretis sudah bisa saya pakai paspornya jika saya inginkan. Dan jika melihat ketentuan yang ada, saat ini pun saya masih belum bisa ikut menikmati seandainya Indonesia pada akhirnya mengijinkan DK utk penduduk diasporanya.
    Yang bisa menikmati cuma anak saya, hanya saja saya belum punya anak jadi ya ngga relevan :-D.
    However, saya memilih untuk melihat isu ini dari sudut pandang yang lebih luas dan seobjektif mungkin. I’m trying to see the bigger picture of it.
    Seperti juga yang saya sebutkan ditulisan diatas, setiap hak selalu disertai kewajiban. Dan setiap pilihan juga akan selalu ada konsekuensi yang mengikuti. Tapi sebagai seorang dewasa yang sehat maka sudah sewajarnya jika yang bersangkutan bisa membuat pilihan bebas dan bertanggung jawab atasnya sendiri-sendiri.
    Adalah tanggung jawab masing-masing untuk cross check peraturan setempat dimana dia berada jika dia hidup sebagai diaspora sebelum mengambil keputusan setiap keputusan penting yang berefek jangka panjang ^_^.
    Terimakasih udah mampir…

    Like

  2. UU kwn ganda terbatas kita hanya dilakukan sepihak, tidak merupakan perjanjian bilateral a multi lateral, jd walaupun kita menganut dwi kwn terbatas, negara lain belum tentu setuju krn ada yg menganut kwn tunggal malah ada negara yg bila dia tahu mempunyai kwn lain langsung cabut wn-x

    Like

Leave a comment