Suamiku di add orang tanpa ijin: “Problem?!?”

Standard

Sering dengar keluhan klasik model gini? Bahwa ada perempuan indonesia yang dikenal di sebuah kelompok tiba-tiba kirim friend request pada suaminya tanpa ijin dulu?
(Khususnya dari wanita Indonesia yang berpasangan dengan WNA barangkali?)
Saya sering banget, terutama dulu ketika masih aktif mengasuh sebuah grup kawin campur, tapi sampai sekarang pun masih juga sering dengar walaupun sudah rada lama resign dari posisi admin.
Dan yang dijadikan kambing hitam biasanya selalu: grup, komunitas, atau organisasi yang mewadahi para pelaku hubungan antar bangsa. Katanya, adminnya terlalu lemah dan longgar lah, ngga mau kasih effort untuk menyaring anggotanya hingga ada bule-bule hunter yang bisa masuk dan mencari target buruan di”life circle” member lain.
Pertama, buat saya mencari kambing hitam itu adalah sesuatu yang konyol dan absurd “anyway. Mencari kambing hitam dimata saya adalah tipikal kebiasaan orang-orang yang tidak punya kapabilitas (atau mungkin memang pada dasarnya tidak mau) untuk menyelesaikan persoalannya sendiri secara dewasa dan logis. Mencari pihak yang bisa dituding kan emang hal yang paling gampang dilakukan kan ^_^ ?!
Tapi lebih konyol lagi jika yang dikambing hitamkan adalah “komunitas”-nya.
Grup didunia cyber itu juga ngga ada bedanya dengan kelompok masyarakat didunia nyata, bedanya cuma kita ngga saling ketemu muka… itu doang.
Ibaratnya di sebuah kelurahan atau kota, semua punya aturan dan normanya masing-masing. Seperti juga setiap grup punya ideologi, visi, misi dan normanya masing-masing dan semua itu dipilih ketika grup didirikan karena memiliki alasannya sendiri. Karena latar belakang dan tujuan berkumpulnya sekelompok individu yang membentuk grup tersebut pada awal berdirinya tidaklah sama dengan yang dimiliki kelompok individu lain. Ada komunitas yang memang dari awal ingin “eksklusif” bagi “kaum” tertentu saja, hingga butuh kriteria spesifik dalam menerima anggota, tapi juga ada organisasi yang memang visi aslinya memilih untuk terbuka atau semi terbuka dalam menerima anggota karena mereka memiliki latar belakang dan goal tersendiri yang ingin dicapai melalui pembentukan komunitas tersebut.
Karena itu setiap pendatang barulah yang harus menilai sendiri apakah dirinya cocok dan bisa menerima visi dan aturan dalam grup tersebut atau nggak. Kalau ngga bisa ya ngga usah gabung, kan nggak ada yang memaksa gabung toh?
Yang jelas, janganlah grupnya yang disalahin kalau dianya sendiri yang nggak hepi atau bertemu hal yang ngga disukai disana. Si anggota lah yang mesti belajar menyesuaikan diri dengan organisasi dan bukannya si organisasonya yang mesti berubah menuruti kemauan member (ecuali tentunya jika tujuan dasar organisasi itu sendiri memang berubah lho).
Cuma yang jelas perlu disadari bahwa grup/organisasi itu terdiri dari banyak orang, tidaklah mungkin untuk bisa menyenangkan dan memenuhi kehendak setiap anggota.

Bayangkanlah sebuah grup itu seperti sebuah kota. Ketika suatu saat kita memutuskan pindah ke kota X karena kita pikir itu kota yang asyik dan nyaman. Tiba-tiba disana ternyata ada wanita cantik (katakanlah seorang “janda muda”) yang tertarik dengan suami kita dan diam-diam mencoba “flirting”dengannya. Apakah masuk akal kalau kita lantas menyalahkan pak Bupati dan segala jajaran pegawai di Balaikota karena memberi kesempatan pada para “janda muda cantik” untuk tinggal di kota X tadi?
Emangnya pak Bupati harus memfilter setiap wanita yang masuk kategori “cantik” dan “sexy”dan mengusir mereka dari kota jika status mereka “single” apalagi “janda muda”? Apakah memang pak Bupati dan pegawainya harus menjamin bahwa cuma pasangan yang sudah menikah atau setidaknya “bertunangan” hanya supaya tidak ada acara saling menggoda sesama member dengan partner member yang lain begitu?
Dan andaikata pun itu benar dilaksanakan, di kota X cuma diisi oleh member yang sudah menikah atau bertunangan, apakah memang semua itu bisa menjamin bahwa para member itu pasti 100% setia dengan pasangannya masing-masing dan nggak akan mungkin melirik pasangan orang lain?
Emangnya pejabat pemerintah di kota terkait harus punya kemampuan menebak isi hati orang sehingga mereka selalu tahu “niat-niat tersembunyi membernya yang negatif”begitu?
Ataukah barangkali tugas pak Bupati dan pegawainya harus di perluas dengan kewajiban untuk rajin memonitor aktivitas warganya setiap saat supaya kalau ada yang terindikasi menggoda pasangan orang langsung ketahuan dan bisa diusir?
Well… really, sometimes I just can’t help shaking my head and rubbing my temple everytime I hear such remarks. You know, when some women blaming a specific group, because she found out that a particular person she knew while interacting in that group sent a friend request to their husband and tried to chat or flirt. As if it is the job of the group administrator to provide a security measure as well a sterile environment to make sure that the love relationship of the group members are well maintained 😀 😀 .

Kedua, pernikahan tidaklah seharusnya menjadi seperti penjara, cincin kawin tak seharusnya menjadi seperti borgol. Saya ngga bisa bayangkan kalau suami saya mengontrol dengan siapa saya boleh berteman. Teman baru itu bisa ditemukan dimana saja dan melalui jalan apa saja termasuk melalui “mutual friends”, didunia nyata ataupun virtual, laki-laki ataupun perempuan emangnya ada bedanya?
Saya nerima “friend request” di sosmed juga ngga cuma dari cewek lho dan saya merasa cukup dewasa untuk membuat kriteria sendiri dengan orang seperti apa saya mau berteman. Saya juga tidak merasa perlu untuk selalu minta pendapat suami saya setiap kali saya dapat undangan pertemanan dari siapapun dan melalui media manapun (termasuk jika mereka datang dari “friend circle” suami saya), lantas mengapa pula saya harus mengharapkan bahwa suami saya mesti melapor sama saya kalau dapat undangan pertemanan dari lingkungan pergaulan saya? If he told me that’s fine. But if he doesn’t, I wouldn’t presume that it would be a potential problem either.
There is just not enough reason for that. Saya manusia normal bakal nyadar juga kalau di goda cowok via japri di sosmed, but so what gitu loh. Selama saya memperlakukannya sebagai cuma angin lalu, saya tak melihat adanya masalah sama sekali.
Bukannya mau nyombong tapi hal macam gini saya justru lebih sering dapat daripada suami, karena suamiku ngga aktif di medsos sementara aku aktif dan suka pasang foto. Udah gitu aku ngga pernah pajang foto bareng suami (suami ngga suka fotonya nyebar di web), pergi keluar rumah hang out juga seringnya sorangan, karena suamiku ngga suka pergi-pergi untuk hang out. Kami berdua ngga suka pake cincin kawin sehari-hari karena emang ngga biasa pake perhiasan jadi orang yang ngga kenal baik bisa salah persepsi dengan status pribadi kami berdua.
Tapi saya juga ngga pernah khawatir suami akan gondok kalau tiba-tiba nggak sengaja melihat pesan-pesan menggoda macam itu di gadget saya. Kenapa? Karena saya tahu saya ngga kasih respon yang pantas untuk dicurigai, jadi tak ada alasan untuk cemburu ataupun khawatir seberapapun seringnya pesan-pesan macam itu datang.
Dan hal yang sama berlaku pula sebaliknya. Selama suami kita ngga merespon, lantas apalah artinya deretan pesan menggoda dari kanan kiri, baik itu berasal dari lingkungan yang saya kenal ataupun dari kenalan dia sendiri diluar sepengetahuan saya.
Saya sendiri tidak suka jika dalam memilih teman saya sendiri lantas dikontrol oleh suami, maka mengapa pula saya ingin mengontrol bagaimana suami saya memilih teman-teman barunya? When we decided to make a life commitment with someone special, then we’re just bound to know…to realise, which boundaries we should keep in order to nurture that relationship well. There is definitely no need to control, because when the heart doesn’t belong to us anymore…there is no control and rule could do anything about it.

Saya bicara begini bukannya mau sok PD dan sok yakin bahwa cinta suami saya dijamin tidak akan mungkin berubah sampai mati dan bahwa dia sudah pasti nggak akan pernah mungkin tergoda.
Karena tidak ada satu manusiapun (sehati-hati apapun dia) yang bisa memprediksi masa depan hingga bisa mengambil tindakan pengamanan yang “optimally effective” sedini mungkin untuk mencegah pecahnya pernikahan. My husband could be very loving today, but there is always a possibility that it may change… as every person is dinamic, life is dinamic…
It’s not only him could change, everybody may change including my self. And it is just normal that not every change is a positive development which leads into a happy result.
Tapi satu hal yang saya pasti betul adalah, saya tidak akan mau menghabiskan hari-hari saya dalam hidup yang singkat ini bersama orang yang tidak bisa saya percaya sepenuhnya. Jika saya masih harus selalu merasa terancam dengan adanya “potensi” godaan dari wanita lain setiap kali saya masuk dalam “friend circle” tertentu baik itu didunia nyata ataupun virtual, maka artinya hubungan itu sendiri sudah layak untuk dipertanyakan perspektif masa depannya.
Dimata saya itu konyol jika saya harus selalu merasa perlu untuk mengontrol E-Mail, SMS, Phone record suami hanya supaya saya merasa yakin nggak ada “sosok-sosok” mencurigakan yang mencoba mendekati suami saya. Bukan berarti dia tidak akan mengijinkan saya baca pesannya atau pegang gadget-nya jika saya minta ya.
But it’s just that I don’t see any necessity to do so. If there is anything he encountered that could be my concern as well, I’d just believe that he would definitely tell me.
But if he purposely hide anything from me, then it means that there has already been something wrong going on in our relationship anyway.
Apalagi sebaliknya dia sendiri juga ngga pernah melakukan itu pada saya. Ngangkat HP-ku aja dia ogah kecuali aku sedang mandi dan nyuruh dia jawab misalnya, seringnya dia cuma ambilin itu HP dan kasih ke aku untuk angkat sendiri kalau aku lagi ada di ruangan lain rumah kami.
Lagian dia yang digoda cewek duluan ataupun sebaliknya dia yang menggoda cewek duluan apa bedanya sih? Endingnya toh sama aja, kepercayaan sudah dilanggar dan kesetiaan sudah buyar jika hal semacam itu sampai terjadi. However, bertepuk butuh 2 tangan… jadi konyol banget kalau cuma nyalahin pihak cewek aja. How could we expect to have equal treatment despite our gender, if we as woman always put another woman in disadvantage position as well when something unpleasant happen whether to us or to our acquaintance and ignoring the role of the male participant.

Yeah… itu semua tentu perspektif saya pribadi ya mengenai kualitas hubungan dan apa yang penting dalam sebuah hubungan. Saya cuma ingin memberi perspektif lain untuk dipikirkan. But feel free to be different if you like and happy new year 😀

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s