Disini saya ngga bermaksud untuk menjadi ahli dalam percintaan ya. 😀
And this is a subjective opinion from me anyway… jadi bisa dibilang itu kriteria utama saya ketika nyari suami hehehehehe.
Ini juga nggak lantas berarti sudah jadi kunci bahwa pernikahan bakal langgeng, karena kelanggengan sebuah hubungan itu melibatkan banyak sekali faktor yang bagi setiap pasangan akan berbeda kasusnya.
Hanya saja, jika arti pentingnya faktor-faktor berikut ini aja kita udah ngga bisa memahami, saya rasa sih potensi kegagalan akan meningkat lebih tajam:
1. Kamu salah pilih suami kalau kamu menikah dengan target agar dia suatu saat berubah menjadi sosok ideal yang kamu impikan. Ini adalah kesalahan fatal. Never marry potential. Kalau lu ngga bisa cukup hepi dengan karakteristik yang dia miliki saat ini, mending balik kanan aja. Masih banyak ikan dilaut. Ini termasuk soal perbedaan kepercayaan ataupun mungkin ketaatannya dalam beribadah, watak, kebiasaan juga lho.
Watak itu bawaan orok, sementara kebiasaan itu…biarpun memang ada potensial untuk bisa dipengaruhi tapi garansi sukses ngga pernah ada karena mungkin sudah terlanjur berurat berakar dari kecil. Spiritualitas/agama?
Ini yang jauh lebih fatal. Kalau orang dasarnya emang nggak percaya, biarpun diancam dengan pedang dileher juga paling banter kalau ketakutan cuma mulutnya yang akan patuh, tapi apakah hati dan otak bisa dipaksa percaya?
Itu harapan yang konyol. Gedanken sind frei=thoughts are free.
Mungkin aja emang pada sekian persen kasus ada yang bisa berubah haluan, tapi garansi untuk itu tidak ada.
Kalau emang hatinya ngga bisa nerima sepenuhnya bahwa pasangannya tidak seiman, lebih baik nyari yang lain aja. Jangan menipu diri sendiri, jangan memaksakan diri untuk menjadi orang “toleran” kalau dirimu memang aslinya nggak cukup “toleran” untuk benar-benar bisa menghormati dan menerima perbedaan.
Jangan gunakan “api asmara yang sedang membara” sebagai senjata untuk “blackmail” calon kamu.
Kalau kamu bilang: “Kalau dia memang cukup besar mencintaiku, maka dia akan rela berkorban dong….” Hmmm apakah itu artinya cinta kamu pada dia nggak cukup besar? Kok cuma dia yang harus berkorban? Kalau kamu yang diminta untuk berkorban hal yang sama mau nggak kira-kira?
Jadi jujur aja deh pada diri sendiri. Kalau nggak, suatu saat kamu bisa menyesal… dan kalau penyesalan itu datang ketika anak-anak sudah ada, alangkah kasihannya mereka.
2. Karakter itu lebih penting dari sekedar perasaan ada “butterfly fluttering in your stomach”.
Chemistry itu emang yang bikin naksir, tapi yang bisa bikin rasa suka dan nyaman dengannya itu bisa tahan lama adalah kecocokan karakternya dengan kita. Menengok poin pertama kembali, ketika kita hidup bersama seseorang, kita akan saling mempengaruhi…jadi ngga cuma kita yang bisa membawa pengaruh pada pasangan, tapi yang sebaliknya juga akan terjadi.
Karena itu, tanya dulu pada diri sendiri, apakah kita siap dengan resiko bahwa kita ternyata lebih terbawa karakter pasangan kita daripada sebaliknya. Apakah kita siap jika anak-anak kita nanti ternyata lebih seperti pasangan kita daripada mengikuti kita? Kalau jawabannya “NO”, ya balik kanan aja lah.
3. Kita tidak bisa mendapatkan semuanya dalam hidup. Kompromi itu perlu.
Tapi untuk menentukan apakah kita bisa bertahan lama hidup dengan orang yang dulunya benar-benar asing bagi kita pada dasarnya yang penting cuma ini: adanya ketertarikan, some mutual interest (ngga harus semua sama ya, tp setidaknya ada yang sama hingga ada aktivitas yang bisa dilakukan bersama-sama tanpa salah satu bosan. Sementara pada aspek yang tidak sama, jadi tetap ada “space” untuk saling memberikan kebebasan menikmatinya sendiri tanpa salah satu merasa teracuhkan/terabaikan), nilai-nilai hidup yang dianut kurang lebih juga kompatibel.
Jangan paksain hidup dengan orang yang “standard value” dalam hidupnya berbeda drastis dengan anda cuma karena saat ini sedang berbunga-bunga hatinya karena si dia.
Suatu saat nanti bisa nyesel lho.
Suami/istri itu ngga sama dengan sekedar teman, kita harus hidup bareng dengan dia, setiap hari lho. Kalau teman mah, begitu ketauan ngga cocok tinggal cari teman baru lagi yang lain. Sedih dan kecewa sih iya, tapi kan konsekuensinya nggak segede kalau kita nikah, punya anak lalu cerai.
4. Apakah kita cukup merasa nyaman menjadi diri sendiri tanpa harus berpura-pura bersamanya? Apakah kita bisa bercerita tentang nyaris tentang semua hal padanya, bahkan hal-hal yang biasanya membuat kita merasa rapuh atau malu jika orang lain tahu? Kalau kita merasa harus selalu ekstra berhati-hati SETIAP kali ngomong karena takut menyinggung pasangan, hingga kita sampai harus mengorbankan integritas dan jati diri sendiri, takut mengekspresikan perasaan dan pendapat kita secara terbuka… Hmmm artinya dalam hubungan itu ada yang nggak beres. Emangnya mau hidup selamanya seperti itu? Bisakah bahagia dengan kondisi begitu meskipun dia sangat cakep, kaya raya dan keliatannya benar-benar tergila-gila sama kita saat ini hingga apapun yang kita mau diturutin? Controlling and making suggestion are 2 different things.
Begitu juga jika kita merasa ada kebutuhan untuk selalu mengontrol pasangan, waaah…
artinya ada yang nggak beres itu. Emang mau gitu, hidup selalu dalam kekhawatiran suami selingkuh kalau nggak diawasi?
Gile, apa kalau perlu dipasangi chip sekalian untuk memonitor aktivitasnya biar aman gitu? 😀 😀
5. Â Apakah dia cukup bisa diandalkan dan bisa mandiri dalam bertindak untuk pilihan-pilihan pribadinya sendiri sebagai manusia dewasa (tanpa pengaruh dari siapapun termasuk orang tuanya)? Omongannya bisa dipegang untuk hal-hal yang serius?
Hormat pada orang tua itu perlu, tapi itu nggak berarti bahwa kita harus membiarkan mereka mengendalikan hidup kita yang sudah jadi manusia dewasa dan punya kehidupan sendiri.
Yang akan menjalani pernikahan itu nanti adalah kita, yang bisa ngerasain seneng dan sebaliknya yang harus “struggle” itu juga nantinya kita bukan mereka.
Hal ini juga berlaku bagi kita sendiri. Kalau nggak siap untuk membuat keputusan terpenting dalam hidup secara mandiri, berarti sebenarnya kita belum benar-benar siap untuk menikahi orang ini. Jangan dipaksakan.
Patah hati itu sakit, tapi sakit sekarang itu kerusakannya nggak akan sefatal kalau udah terlanjur menikah dan beranak. ^_^
But by the way… kalau emang udah terlanjur menikah, dan ngga bahagia… ya sama aja jangan dipaksakan. Trying to save a marriage as good as possible is advisable, but if we’re already in a point where we’re not psychologically healthy in this relationship, then there would be no good outcome for everyone…even for our children.
It is not healthy for their development if they have to grow up in an unhealthy relationship. You’d be only giving them bad example in life.
Sometimes unhealthy marriage could at least still turn out to be a good friendship before they destroy each other and diminish the last respect left.
At least one can still cooperate to raise the children well when there is no hate involved yet.
Pada prinsipnya kalau menurut saya sih, kuncinya yang terpenting adalah ini:
“Jangan pernah mencoba membohongi diri sendiri”.
Hal-hal yang saya sebut diatas itu teorinya saya rasa banyak orang juga ngerti sih, cuma yang jadi masalah itu pada umumnya saya rasa ya karena “ketidak beranian untuk jujur pada diri sendiri” itu tadi.
So, tanya pada diri sendiri apa yang penting bagi kita dan apakah kandidat pasangan kita itu kompatibel atau nggak.
Dan kalau jawabannya “YA”, jangan biarkan orang lain mendikte kita dengan doktrin-doktrinnya dan “nilai-nilai” mereka. Biarkan orang lain berfikir atau bicara apa saja, hidup kita adalah kita yang atur.
Orang lain punya hidupnya sendiri, prioritas-prioritasnya sendiri dan “value” nya sendiri masing-masing. It’s just not applicable for everyone.
See you again next time. ^_^
You must be logged in to post a comment.