Monthly Archives: January 2017

Kriteria dalam milih pasangan hidup yang rasional

Standard

Disini saya ngga bermaksud untuk menjadi ahli dalam percintaan ya. 😀
And this is a subjective opinion from me anyway… jadi bisa dibilang itu kriteria utama saya ketika nyari suami hehehehehe.
Ini juga nggak lantas berarti sudah jadi kunci bahwa pernikahan bakal langgeng, karena kelanggengan sebuah hubungan itu melibatkan banyak sekali faktor yang bagi setiap pasangan akan berbeda kasusnya.
Hanya saja, jika arti pentingnya faktor-faktor berikut ini aja kita udah ngga bisa memahami, saya rasa sih potensi kegagalan akan meningkat lebih tajam:

1. Kamu salah pilih suami kalau kamu menikah dengan target agar dia suatu saat berubah menjadi sosok ideal yang kamu impikan. Ini adalah kesalahan fatal. Never marry potential. Kalau lu ngga bisa cukup hepi dengan karakteristik yang dia miliki saat ini, mending balik kanan aja. Masih banyak ikan dilaut. Ini termasuk soal perbedaan kepercayaan ataupun mungkin ketaatannya dalam beribadah, watak, kebiasaan juga lho.
Watak itu bawaan orok, sementara kebiasaan itu…biarpun memang ada potensial untuk bisa dipengaruhi tapi garansi sukses ngga pernah ada karena mungkin sudah terlanjur berurat berakar dari kecil. Spiritualitas/agama?
Ini yang jauh lebih fatal. Kalau orang dasarnya emang nggak percaya, biarpun diancam dengan pedang dileher juga paling banter kalau ketakutan cuma mulutnya yang akan patuh, tapi apakah hati dan otak bisa dipaksa percaya?
Itu harapan yang konyol. Gedanken sind frei=thoughts are free.
Mungkin aja emang pada sekian persen kasus ada yang bisa berubah haluan, tapi garansi untuk itu tidak ada.
Kalau emang hatinya ngga bisa nerima sepenuhnya bahwa pasangannya tidak seiman, lebih baik nyari yang lain aja. Jangan menipu diri sendiri, jangan memaksakan diri untuk menjadi orang “toleran” kalau dirimu memang aslinya nggak cukup “toleran” untuk benar-benar bisa menghormati dan menerima perbedaan.
Jangan gunakan “api asmara yang sedang membara” sebagai senjata untuk “blackmail” calon kamu.
Kalau kamu bilang: “Kalau dia memang cukup besar mencintaiku, maka dia akan rela berkorban dong….” Hmmm apakah itu artinya cinta kamu pada dia nggak cukup besar? Kok cuma dia yang harus berkorban? Kalau kamu yang diminta untuk berkorban hal yang sama mau nggak kira-kira?
Jadi jujur aja deh pada diri sendiri. Kalau nggak, suatu saat kamu bisa menyesal… dan kalau penyesalan itu datang ketika anak-anak sudah ada, alangkah kasihannya mereka.

2. Karakter itu lebih penting dari sekedar perasaan ada “butterfly fluttering in your stomach”.
Chemistry itu emang yang bikin naksir, tapi yang bisa bikin rasa suka dan nyaman dengannya itu bisa tahan lama adalah kecocokan karakternya dengan kita. Menengok poin pertama kembali, ketika kita hidup bersama seseorang, kita akan saling mempengaruhi…jadi ngga cuma kita yang bisa membawa pengaruh pada pasangan, tapi yang sebaliknya juga akan terjadi.
Karena itu, tanya dulu pada diri sendiri, apakah kita siap dengan resiko bahwa kita ternyata lebih terbawa karakter pasangan kita daripada sebaliknya. Apakah kita siap jika anak-anak kita nanti ternyata lebih seperti pasangan kita daripada mengikuti kita? Kalau jawabannya “NO”, ya balik kanan aja lah.

3. Kita tidak bisa mendapatkan semuanya dalam hidup. Kompromi itu perlu.
Tapi untuk menentukan apakah kita bisa bertahan lama hidup dengan orang yang dulunya benar-benar asing bagi kita pada dasarnya yang penting cuma ini: adanya ketertarikan, some mutual interest (ngga harus semua sama ya, tp setidaknya ada yang sama hingga ada aktivitas yang bisa dilakukan bersama-sama tanpa salah satu bosan. Sementara pada aspek yang tidak sama, jadi tetap ada “space” untuk saling memberikan kebebasan menikmatinya sendiri tanpa salah satu merasa teracuhkan/terabaikan), nilai-nilai hidup yang dianut kurang lebih juga kompatibel.
Jangan paksain hidup dengan orang yang “standard value” dalam hidupnya berbeda drastis dengan anda cuma karena saat ini sedang berbunga-bunga hatinya karena si dia.
Suatu saat nanti bisa nyesel lho.
Suami/istri itu ngga sama dengan sekedar teman, kita harus hidup bareng dengan dia, setiap hari lho. Kalau teman mah, begitu ketauan ngga cocok tinggal cari teman baru lagi yang lain. Sedih dan kecewa sih iya, tapi kan konsekuensinya nggak segede kalau kita nikah, punya anak lalu cerai.

4. Apakah kita cukup merasa nyaman menjadi diri sendiri tanpa harus berpura-pura bersamanya? Apakah kita bisa bercerita tentang nyaris tentang semua hal padanya, bahkan hal-hal yang biasanya membuat kita merasa rapuh atau malu jika orang lain tahu? Kalau kita merasa harus selalu ekstra berhati-hati SETIAP kali ngomong karena takut menyinggung pasangan, hingga kita sampai harus mengorbankan integritas dan jati diri sendiri, takut mengekspresikan perasaan dan pendapat kita secara terbuka… Hmmm artinya dalam hubungan itu ada yang nggak beres. Emangnya mau hidup selamanya seperti itu? Bisakah bahagia dengan kondisi begitu meskipun dia sangat cakep, kaya raya dan keliatannya benar-benar tergila-gila sama kita saat ini hingga apapun yang kita mau diturutin? Controlling and making suggestion are 2 different things.
Begitu juga jika kita merasa ada kebutuhan untuk selalu mengontrol pasangan, waaah…
artinya ada yang nggak beres itu. Emang mau gitu, hidup selalu dalam kekhawatiran suami selingkuh kalau nggak diawasi?
Gile, apa kalau perlu dipasangi chip sekalian untuk memonitor aktivitasnya biar aman gitu? 😀 😀

5.  Apakah dia cukup bisa diandalkan dan bisa mandiri dalam bertindak untuk pilihan-pilihan pribadinya sendiri sebagai manusia dewasa (tanpa pengaruh dari siapapun termasuk orang tuanya)? Omongannya bisa dipegang untuk hal-hal yang serius?
Hormat pada orang tua itu perlu, tapi itu nggak berarti bahwa kita harus membiarkan mereka mengendalikan hidup kita yang sudah jadi manusia dewasa dan punya kehidupan sendiri.
Yang akan menjalani pernikahan itu nanti adalah kita, yang bisa ngerasain seneng dan sebaliknya yang harus “struggle” itu juga nantinya kita bukan mereka.
Hal ini juga berlaku bagi kita sendiri. Kalau nggak siap untuk membuat keputusan terpenting dalam hidup secara mandiri, berarti sebenarnya kita belum benar-benar siap untuk menikahi orang ini. Jangan dipaksakan.
Patah hati itu sakit, tapi sakit sekarang itu kerusakannya nggak akan sefatal kalau udah terlanjur menikah dan beranak. ^_^

But by the way… kalau emang udah terlanjur menikah, dan ngga bahagia… ya sama aja jangan dipaksakan. Trying to save a marriage as good as possible is advisable, but if we’re already in a point where we’re not psychologically healthy in this relationship, then there would be no good outcome for everyone…even for our children.
It is not healthy for their development if they have to grow up in an unhealthy relationship. You’d be only giving them bad example in life.
Sometimes unhealthy marriage could at least still turn out to be a good friendship before they destroy each other and diminish the last respect left.
At least one can still cooperate to raise the children well when there is no hate involved yet.
Pada prinsipnya kalau menurut saya sih, kuncinya yang terpenting adalah ini:
“Jangan pernah mencoba membohongi diri sendiri”.
Hal-hal yang saya sebut diatas itu teorinya saya rasa banyak orang juga ngerti sih, cuma yang jadi masalah itu pada umumnya saya rasa ya karena “ketidak beranian untuk jujur pada diri sendiri” itu tadi.
So, tanya pada diri sendiri apa yang penting bagi kita dan apakah kandidat pasangan kita itu kompatibel atau nggak.
Dan kalau jawabannya “YA”, jangan biarkan orang lain mendikte kita dengan doktrin-doktrinnya dan “nilai-nilai” mereka. Biarkan orang lain berfikir atau bicara apa saja, hidup kita adalah kita yang atur.
Orang lain punya hidupnya sendiri, prioritas-prioritasnya sendiri dan “value” nya sendiri masing-masing. It’s just not applicable for everyone.

See you again next time. ^_^

Prenatal screening

Standard
Prenatal screening

Hallo teman-teman yang hobi baca ^_^…

Kali ini saya ingin berbicara mengenai tema yang biasanya menghantui para ibu yang sedang hamil muda: “prenatal screening“.
Sesuai dengan namanya, tema kali ini adalah tentang pemeriksaan dan diagnosa terhadap kondisi fetus di periode kehamilan trimester pertama, sehingga masih mungkin melakukan aborsi dengan alasan medis (setidaknya di Eropa), dimana diperiode ini resikonya masih relatif rendah (dinilai dari segi psikis maupun fisik calon ibu).
Di Jerman aborsi di masa kehamilan lanjut hanya bisa dilakukan dengan kondisi tertentu dan itupun tidak semua klinik mau melakukannya, karena itu “prenatal screening” memiliki peranan penting terutama bagi mereka yang kebetulan tergolong “high-risk pregnancy“. Data statistik menunjukkan bahwa sekitar 20% dari angka kehamilan yang ada tergolong “high-risk pregnancy” (note: statistik yang saya pakai disini adalah untuk wilayah jerman).

Sebelumnya saya ingin tegaskan bahwa saya tidak ingin berkomentar atas pilihan yang diambil masing-masing wanita apakah akan meneruskan kehamilannya atau tidak. Saya rasa orang luar sama sekali tidak berhak untuk men-“judge” keputusan orang lain. Pertama karena kita tidak tahu secara persis seburuk apa situasi si ibu dan bayi secara medis.
Seringkali ini tidak hanya menyangkut soal tema down syndrom semata melainkan juga apakah si fetus “überhaupt lebensfähig” (bisa bertahan hidup cukup lama) diluar rahim. Argumen bahwa jika bagaimana bisa seorang ibu menolak anak sementara banyak ibu lain bersedia melakukan apapun untuk mendapatkan anak tidak selalu bisa diterapkan disini.
Come on, please let’s not be too naive…
Jika si ibu benar-benar tidak sanggup membesarkan karena satu dan lain alasan, lalu memberikannya untuk diadopsi, saya ingin tahu… berapa banyak sih orang yang mau dengan sukarela mengadopsi anak yang tidak sehat?
Kita nggak cuma bicara soal down syndrom lho, tapi juga “organ defekt” yang serius dan mungkin tak ada harapan sembuh, no quality of life, dalam hidup yang pendek itu mungkin si anak cuma harus menderita.
Kedua, karena hanya yang bersangkutan sendiri yang bisa menimbang kemampuan dirinya baik secara finansial ataupun psikologis untuk membesarkan anak yang tidak sehat.
Jika kita sendiri yang harus mengalami hal yang sama, saya yakin seyakin yakinnya bahwa kita ngga akan bisa semudah itu bicara.
So let’s just respect whatever people chose, it’s their life not ours.

Karena itu tolong dipahami bahwa tulisan saya ini hanya sebatas informasi yang sifatnya objektif agar setiap ibu yang sedang berada dalam kebingungan benar-benar paham dengan situasinya sebelum mengambil keputusan. Apapun itu keputusannya.
Hal ini mengingat bahwa banyak sekali ibu-ibu yang sebenarnya tidak mengerti betul tentang arti dari pemeriksaan yang disarankan pada mereka berikut konsekuensi dari hasil yang diperoleh, sehingga akhirnya malah mengalami stress yang tidak perlu, yang sebenarnya justru lebih merusak sifatnya bagi kesehatannya sendiri.
STRESS is harming us more severely as it could bring even more health problem, which could make everything even worse ^_^.
Ok, mari kembali ke topik utama :).

Yang tergolong pada “high-risk pregnancy” adalah berikut ini:
usia dibawah 18 tahun atau diatas 35 tahun, obesitas, diabetes, cacat fisik, riwayat penyakit serius (khususnya yang sifatnya genetis atau penyakit turunan), pernah keguguran/“stillbirth”(masalah kehamilan apapun yang lain sebelumnya), prediksi kehamilan dengan beberapa fetus sekaligus, calon orang tua adalah perokok/pengkonsumsi alkohol tinggi/pengkonsumsi obat terlarang, sudah melahirkan anak lebih dari 4 kali, “placenta insufficciency”, “chronic bladder infection”, dan ada masalah dengan kompatibilitas Rhesus.
Tingkat resiko akan makin meningkat seiring dengan makin banyaknya faktor-faktor resiko diatas yang dimiliki oleh sang ibu hamil.

Ada banyak jenis metode prenatal screening tapi disini saya cuma akan membahas beberapa yang paling sering menjadi rekomendasi oleh dokter saja, yaitu:

1. Nackentransparenz-Messung (Nuchal Translucency scan)
, atau kadang disebut sebagai “1st. trimester screening”.
Di Jerman 3 kali USG di setiap trimester adalah standard dalam jadwal kontrol kehamilan oleh ginekolog sehingga biayanya akan dicover oleh asuransi negara.
Pada dasarnya, organ defekt akan diketahui pada saat pemeriksaan trimester kedua untuk bisa dicari solusi medis yang bisa ditempuh demi menyelamatkan anak seoptimal mungkin, sehingga bagi yang tidak tergolong beresiko kehamilannya, 1st. trimester screening tidaklah benar-benar diperlukan, itu sebabnya pula mengapa dia tidak termasuk dalam standar pemeriksaan dan biayanya secara umum tidak ditanggung asuransi negara.
Tapi bagi yang menjadi klien beberapa jenis “private insurance” kadangkala masih bisa klaim atas biaya pemeriksaan ini dengan basis “kulanz=voluntary given for service purpose” walaupun si ibu tidak tergolong menjalani “high-risk pregnancy“.
Sedangkan asuransi negara hanya akan menanggung biaya untuk ini jika dokter menetapkan bahwa itu sangat penting untuk dilakukan mengingat riwayat medis si ibu.
Screening ini secara umum untuk mendeteksi kemungkinan adanya kelainan kromosom berikut ini: Trisomy 21  (yang utama) dan sisanya adalah: Turner syndrome, Trisomy 18, Trisomy 13 dan Triploidy. Probabilitas akan kelainan kromosom yang lainnya pada prinsipnya tidak bisa sepenuhnya terdeteksi dengan baik memakai metode ini.
Pemeriksaan ini memiliki rasio akurasi 90% dalam mendeteksi kemungkinan kasus Trisomy 21, tapi apakah sebenarnya artinya ini bagi kita?

Secara statistik, dari 100.000 wanita hamil, ada 170 probabilitas meningkatnya resiko akan kasus down syndrom.
Dari 170 ini cuma 153 yang resiko DS nya teranalisa meningkat (true posititve result), 17 sisanya hasilnya adalah potensial resiko tidak meningkat padahal hasilnya bisa jadi terbalik karena itu disebut “false negatif” (bayangkan shock-nya ketika sudah tenang merasa nggak beresiko tapi tiba-tiba ketika lahir terjadi hal sebaliknya.
Sementara itu, 99830 kasus lainnya realitanya tidak mengalami kasus DS. Meskipun begitu ada setidaknya 4991 fetus diduga akan mengalami DS dari hasil screening walaupun sebenarnya tidak. Mereka ini biasanya akan disarankan melakukan konsultasi lanjutan, screening tambahan disana-sini ==> STRESS dan KETAKUTAN, yang pada sebagian darinya sebenarnya tidak perlu ada dan bahkan 30 dari mereka menjadi kasus keguguran karena efek samping dari screening lanjutan yang sifatnya “invasive”.

Hanya saja kesimpulan yang terpenting disini yang paling sering disalah artikan adalah “HASIL dari NT-Messung itu CUMA sebuah PROBABILITAS.” Ini bukan sebuah diagnosa.
Informasi dari dokterku contohnya, menyatakan bahwa probabilitas kehamilan diusia 30 tahun untuk kasus DS adalah 1:895, seandainya kemudian setelah melakukan NT-Messung tiba-tiba mendapat hasil rasio resiko menjadi 1:300.
Apa sih artinya itu?
Tidak semua orang benar-benar menyadarinya lho.
Rasio ini artinya adalah: bahwa dari 300 kehamilan, hanya ada 1 bayi yang benar-benar mengalami DS. Dan apakah si ibu ini menjadi yang 1 ini atau termasuk pada yang 299 sisanya, itu tidak bisa dipastikan dengan test ini.
Jadi apakah kesimpulannya? Sangat jelas.
Artinya melakukan aborsi HANYA dengan berdasarkan hasil NT-Messung sebenarnya keputusan yang terlalu gegabah.
Bagaimana coba andai anak kita sebenarnya baik-baik saja, andai kita sebenarnya termasuk pada 299 ibu yang tersisa tadi?
Apalagi setiap klinik atau dokter bisa saja menemukan hasil yang berbeda karena mereka mungkin menggunakan software yang berbeda untuk menentukan rasio probabilitas ini.
Begitu juga sebaliknya, merasa 100% tenang sebenarnya kita juga nggak bisa.
Jadi… pada akhirnya hasil test ini bisa memberikan beban pikiran yang cukup berat pada para ibu yang pada sebagian dari mereka mungkin sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Selain itu, ada pertanyaan yang sebenarnya jauh lebih penting disini, yaitu:
“Apa sebenarnya yang akan anda lakukan jika hasilnya resiko DS benar-benar  cukup tinggi pada anda? Apakah aborsi merupakan sebuah opsi bagi anda?
Jika jawabannya “YA”, well…oke.. mungkin memang screening ini jadi penting buat anda, bahkan meskipun harus bayar sendiri.
Tapi jika jawabannya adalah “TIDAK”, anda siap menerima apapun kondisi bayi anda… maka saya rasa screening ini sebenarnya tidak begitu perlu, dan mungkin hasilnya hanya akan makin membebani pikiran saja.

Screening ini menjadi sangat krusial artinya, hanya jika kita mempertimbangkan untuk aborsi diusia kandungan masih cukup dini. Karena potensi defekt yang lain, toh akan ketahuan juga begitu kehamilan berusia lebih tua nantinya, yaitu ketika menjalani screening terjadwal di trimester kedua.
Spina bivida misalnya.. itu juga baru akan terdeteksi paling cepat di usia kehamilan 22 minggu “anyway”, sementara NT-Scan dilakukan pada usia kehamilan antara 12-akhir usia 14 minggu. Begitu juga kelainan organ lain, pada dasarnya baru bisa dilihat lebih akurat apakah pertumbuhannya kurleb sesuai usia kehamilan atau tidak, baru ketika usia kehamilan masuk ke trimester kedua. Jadi NT-Scan tidaklah begitu menentukan disini.

Sementara jika alasan kita adalah untuk persiapan mental, well… saya rasa untuk ini tidak akan terlambat juga kan jika kita mengetahuinya ketika kehamilan berusia lanjut, ketika ciri-ciri yang bisa dilihat jauh lebih banyak dan lebih jelas?!
Karena pertimbangan inilah, mengapa pada akhirnya saya dan suami memutuskan untuk tidak melakukan NT-Messung, ataupun prenatal screening apapun.
Bahkan meskipun kami punya “private insurance” yang sudah memberikan konfirmasi tertulis bahwa mereka bersedia menanggung semua biaya prenatal screening atas dasar “kulanz”, termasuk bahkan jika kita mau mengambil metode test genetis terbaru melalui darah ibu yang tidak tergolong berbahaya buat janin dan terkenal tarifnya masih sangat mahal (dikenal dengan nama Harmony Test).

Saya sendiri jujur aja agak surprise dengan dukungan dari suami akan keputusan ini, mengingat dia sebenarnya tidak pernah mengharapkan punya anak, dia setuju memiliki anak cuma karena dia ingin melengkapi kebahagiaan saya saja.
Tapi komentarnya yang bikin saya benar-benar merasa tidak salah pilih partner adalah ini:
“Who can actually determine that someone with Down Syndrome would have a worse and unhappier life than those who are not? Having DS or having a family with DS is not the worst thing could ever happen to someone in this world.”
My husband is truly a caring person by nature… That’s the biggest reason why I chose him
(cieeee lebayyyyy …yang mau muntah monggoooo hahaha).
Jadi artinya kita sudah siap untuk menerima apapun yang terjadi nantinya :), karena itu pada akhirnya test-test itu tidak kita lakukan sama sekali.

Sebaliknya bagi kalian yang memilih melakukannya dan mendapatkan hasil yang mencurigakan, maka akan dibutuhkan pemeriksaan selanjutnya, yang sifatnya biasanya invasive yaitu:

2. pengambilan sample jaringan yang menyimpan informasi genetis bayi dari plasenta: 
Chorionzottenbiopsie/Chorionic villus sampling (CVS)

baby-2

source:embryology.med.unsw.au

baby

source: embryology.med.unsw.au

3. dari air ketuban: Amniocentesis

Tapi perlu diingat lagi bahwa kedua test ini memiliki resiko keguguran mencapai 1 %Padahal potensi kesalahan diagnosa metode ini juga masih ada walaupun hasilnya memang jauh lebih akurat dan pada dasarnya lebih merupakan sebuah diagnosa dan bukan sekedar probabilitas seperti pada NT-Scan.

Karena itu bagi yang secara finansial mampu dan ingin menjalani test untuk mengetahui adanya kelainan genetis pada fetus dengan tanpa risiko membahayakan calon bayi, mungkin jauh lebih baik untuk memilih melakukan:

4. Harmony pränatal test.
Disini sample genetis diambil dari darah si ibu sehingga tidak membahayakan fetus dengan tingkat keakuratan untuk mendeteksi Trisomy 21 mencapai setidaknya 99,5%, pada Turner Syndrom tingkat akurasinya 93%. Ongkosnya mencapai setidaknya 400€ (bisa lebih, tapi bisa juga kurang sedikit, tergantung berapa macam diagnosa yang ingin diketahui, dan di klinik mana test dilakukan). Cuma kembali jangan dilupakan bahwa artinya,  bahkan utk jenis test baru ini pun masih ada kemungkinan 0,5 % diagnosis meleset utk Trisomy 21 dan 7% ketidak akuratan pada kasus diagnosis Turner Syndrome, dan begitu jg pd jenis diagnosis kelainan kromosom lainnya. 

Dan perlu jg diingat bahwa TIDAK SEMUA jenis kelainan yang mungkin terjadi pada janin bisa di diagnosis dengan metode-metode diatas. Jadi sebenarnya menyalahkan dokter yang merawat Kita ketika Kita menjumpai hasil akhir diluar prognosis   juga tidak selalu bisa di benarkan 😊.

There are indeed still some error rates in those methods that one should always keep in mind. 

Well… kali ini sekian dulu ya ibu-ibu… walaupun lagi-lagi tulisan saya lumayan panjang hehehe, tapi semoga aja berguna bagi kalian yang sedang bimbang.

Source:

Harmony TestPränataldiagnostik1.st trimester screeningprenatal screening

“Tabu”-nya orang Indonesia itu kadang memang bikin “speechless”…

Standard
“Tabu”-nya orang Indonesia itu kadang memang bikin “speechless”…

Saya sering bicara bahwa sebuah kultur itu nggak ada yang lebih baik ataupun lebih buruk daripada yang lainnya, mereka memang beda, cuma itu. Setiap kultur memiliki ciri khasnya masing-masing dan ada latar belakangnya pula mengapa begitu.  Dan pendapat saya ini masih tetap sama, akan tetapi itu adalah opini secara umum terhadap keseluruhan budaya sebuah bangsa, jadi nggak berarti bahwa saya anggap setiap jenis adab/nilai/kebiasaan/budaya tertentu dari suatu masyarakat itu sensibel dan sebaiknya dilestarikan.
Kultur itu sendiri pada dasarnya adalah hal dinamis, dari jaman prasejarah sampai abad digital akan selalu mengalami perubahan entah itu positif atau negatif arahnya sesuai dengan perkembangan pengetahuan kita (ilmu dan teknologi itu sendiri juga kan bagian dari produk kultur toh? Sejauh ini rata-rata orang cuma mengasosiasikan kultur dengan seni, kerajinan ataupun tradisi saja; padahal kultur itu sangatlah luas). Tentu saja yang ideal adalah jika perubahan itu membawa ke arah yang positif ya. Dan inilah yang ingin saya ungkapkan disini: beberapa hal tipikal di kalangan masyarakat indonesia yang cukup “irritating” hingga ingin saya bagi disini.

Tema kali ini ngga jauh beda dengan hal yang saya tulis beberapa hari yang lalu, hanya saja kali ini lebih relevan bagi khususnya kaum wanita. Saya tergelitik untuk menulis ini ketika kemarin tanpa sengaja membaca komentar-komentar ibu-ibu Indonesia pada artikel online tentang berita proses melahirkannya artis “Andien” yang kebetulan nongol di newsfeed akun medsos saya karena ada “mutual friend” saya yang komentar disitu.
Sejauh ini saya bukan tipe orang yang suka ngikutin berita artis, buat saya “up to date”soal artis sama sekali bukan hal penting dan nggak begitu menarik jadi seringnya saya ini cenderung kuper soal berita artis. Kalau ada info yang ngga sengaja nangkring gini aja sih, dan kebetulan isunya lumayan “nyentil” baru saya kadang iseng untuk nggugel karena penasaran mengapa orang-orang begitu hebohnya.
Seperti kali ini, yang menarik perhatian saya justru adalah komen-komen para wanita itu yang bikin saya jadi gatel. KENAPA?

Karena ada wanita-wanita yang bilang “JIJIK” dengan Andien, cuma gara-gara sang artis ini berbagi tentang proses kelahiran anaknya yang secara natural dan peran aktif sang suami dalam membantu proses kelahiran anak mereka.
Saya bisa mengerti bahwa tidak semua orang mau membagi hal-hal sakral dalam hidupnya, karena saya sendiri juga tidak. Saya juga ingin membatasi hal-hal yang ingin saya jaga dalam lingkungan pribadi saya dan mana yang bisa saya bagi kepada publik.
Saya juga bukan tipe orang yang suka PDA (Mamerin kemesraan dengan pasangan dimuka banyak orang, baik itu dulu ataupun sekarang ketika saya sudah tinggal di Eropa. Not that I find it unacceptable, but it’s simply not my cup of tea. I don’t need to show my affection anywhere anytime anyway)…
Tapi saya tetap tidak bisa bayangkan ada “wanita” yang sama-sama secara alami di desain untuk hamil dan melahirkan bisa-bisanya menganggap bahwa “proses kelahiran” dan ekspresi “cinta” dari pasangan hidup itu sesuatu yang “menjijikkan”.
Saya sampai penasaran dan nggugel lama untuk ngecek seperti apa sih foto-foto yang di bagi oleh Andien itu dan seperti apa dia menceritakan proses melahirkannya, kok sampai dianggap menjijikkan?!
Tapi sejauh ini yang saya temukan sama sekali belum layak untuk dikategorikan “menjijikkan” deh. Lebay juga nggak lho (nggak kayak acara lahiran anaknya si Anang yang sampai di siarkan langsung segala…itu baru lumayan pantes dikategorikan lebay).
Foto-foto yang di bagi oleh keluarga Andien sekedar menunjukkan ekspresi “cinta”, sama sekali nggak bernuansa “seksual” ataupun porno.
Sejak kapan orang melahirkan itu porno? Ini sama aja kayak orang-orang Amrik sana yang menganggap bahwa “menyusui” bayi itu juga hal yang “saru”, “tabu” dan “porno” :-D. Tapi anehnya berpose telanjang dianggap biasa-biasa saja. Semakin lama saya benar-benar semakin merasa betapa miripnya masyarakat amrik dengan indonesia ^_^.
Hal-hal yang secara natural dikodratkan pada makhluk hidup dimuka bumi, tapi dianggap “TABU”, how ridiculiously funny…

Baru juga informasi dan foto begitu aja dari Andien udah dibilang “menjijikkan” dan tabu… apalagi kalau mereka lihat betapa banyak video proses kelahiran natural yang bisa diakses dengan mudah di YouTube ya? Banyak dari para ibu di video itu bahkan sepenuhnya telanjang. Andien mah masih pake baju, ya!
Para wanita di Indonesia begitu terbiasa dengan begitu banyaknya servis yang ada mungkin, begitu banyaknya orang disekelilingnya yang bisa membantunya ngurus anak, dan begitu menganggap enteng “operasi caesar” sehingga membuat mereka melupakan bahwa proses melahirkan itu adalah hal yang sepenuhnya “NATURAL”, tidak layak untuk masuk kategori “tabu”, apalagi kita nggak lagi hidup di jaman kuno dimana bahkan wanita yang haid dan nifas pun dianggap “kotor” hingga “suami” pun ngga boleh “menyentuh”-nya.
Sungguh kolot pula memandang bahwa peran serta seorang suami dalam proses kelahiran dan ungkapan kebahagiaannya ketika si bayi lahir ditangannya dianggap “gesture” yang tidak pantas (rolling my eyes…).
For God sake, this man didn’t give her a french kiss! It was merely a light peck.
Ada bidan dan orang-orang lain disekitarnya gitu lho, yang benar aja lah…

Harap jangan salah tangkap ya, saya ngga bermaksud menganggap wanita yang melahirkan melalui operasi caesar itu lebih rendah nilainya daripada ibu yang melahirkan natural lho. Ada banyak situasi khusus yang membuat kelahiran caesar adalah hal yang terbaik bagi beberapa kasus tertentu. Tapi bagaimanapun adalah fakta bahwa SETIAP WANITA terlahir kedunia dengan membawa karakteristiknya yang khas sebagai media untuk membawa generasi baru kemuka bumi, jadi pada dasarnya kita sudah dilengkapi dengan semua yang dibutuhkan untuk membawa manusia baru ke muka bumi dengan selamat. Jangankan binatang liar, wanita-wanita yang hidupnya jauh dari peradaban modern semuanya juga melahirkan tanpa asistensi dokter ahli dengan peralatan canggihnya kan?!
Apakah kemampuan alami itu akan dimanfaatkan oleh setiap dari kita atau tidak, itu adalah soal lain lagi.
Mungkin wanita-wanita Indonesia yang menganggap lebay tulisan ataupun video tentang hal-hal semacam ini karena mereka nggak perlu ngerasain repotnya dan khawatirnya harus menjalani semua proses (yang bagi setiap “calon ibu baru” menakutkan) karena di sana ada banyak orang yang bisa mereka andalkan untuk membantu, bahkan bayar asisten banyak pun nggak susah karena murah.
Mereka nggak tahu betapa tulisan ataupun video yang di bagi oleh sesama ibu di dunia ini bisa sangat membantu sekali bagi kita-kita khususnya yang tinggal jauh dinegeri orang tanpa orang tua yang bisa dimintai tolong dan dimana jasa pembantu ataupun baby sitter adalah sebuah kemewahan.

Memang benar jasa medis di negara maju bisa diandalkan, tapi itu kan tidak lantas kita bisa mendapatkan semua informasi dan bantuan dari mereka. Dan tidak pula semuanya bisa ditanggung asuransi, khususnya jika itu hal-hal yang nggak mengancam kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi. Akan tetapi tetap saja itu bisa berupa hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh para calon ibu yang sedang mengandung untuk yang pertama kali.
Jadi adanya orang-orang yang bersedia berbagi pengalaman pribadinya (yang sebenarnya tergolong privacy dan sakral) adalah hal yang justru patut untuk dihargai.
Toh itu bukan sebuah aib, itu bukanlah hal yang memalukan gitu lho…

Saya juga kebetulan tertarik akan proses melahirkan dalam air, karena itu saya suka melihat dan membaca apapun yang bisa saya temukan tentang pengalaman pribadi orang yang mengalaminya, jadi nggak cuma informasi yang sifatnya teori saja dari jurnal-jurnal medis dan omongan dokter doang.
Kalian-kalian yang merasa tidak butuh, ya nggak papa, tapi mbok nggak usah nyinyir…
toh nggak ada yang menyuruh kalian untuk melihat atau membacanya kan?!
Kita semua tahu betapa banyaknya operasi caesar di indonesia yang dilakukan tanpa adanya rekomendasi medis, melainkan murni karena alasan: ngga mau sakit, takut vaginanya melebar (hingga suami jadi berpotensi untuk ngelirik perawan sebelah 😀 ), dan alasan-alasan nggak rasional lainnya semacam itulah, hanya karena merasa secara finansial mampu menanggungnya.
Jadi adalah hal yang menurut saya justru sangat positif, ketika ada publik figur yang mau berbagi karena itu bisa menjadi semacam “encouragement” pada para wanita yang sedang mengalami ketakutan untuk melahirkan normal dan sedang bimbang karena dibujuk dokter (yang mata duitan) dan sebenarnya ibu-ibu yang sedang bimbang ini secara medis nggak butuh operasi.
Bagaimanapun harus kita akui bahwa pengaruh “artis” dan efek persuasif dari tindakan mereka pada publik itu cukup besar.

Lagipula… rasanya lucu juga kalau menyebut “video dan foto orang melahirkan” itu tabu dan saru, tapi anehnya ngomongin aib suami sendiri, dan bercanda serta bercerita tentang kehidupan seksualnya bersama suami/istri, bikin jokes-jokes berbau seks kok nggak dianggap tabu ya… Malah kadang jadi topik tipikal di tayangan komedi lho…
Betapa paradoks… ^_^ .
Bahkan nguliahin orang tentang pilihan pasangan hidup orang make dalih agama (yang notabene adalah urusan pribadi yang paling pribadi), dianggap normal (lagi-lagi jadi “rolling my eyes…”), pada nggak sadar bahwa kalau sebaliknya ada orang yang negur atau nasehatin dia tanpa diminta, dianya marah-marah juga…merasa tersinggung 😀 .

Seharusnya, orang-orang yang ngaku dirinya “intelek” bisa membedakan mana yang patut untuk dikategorikan “lebay” dan pamer dengan yang nggak.
Kalau ngomongin “Ah, artis sih… cuma melahirkan aja pake masuk berita, semua wanita juga bisa melahirkan, apanya yang istimewa?!”
Hmmm saya jadi heran, siapa pula yang bilang kalau dia itu istimewa? Nggak ada kan?
Lagipula, dijaman media digital saat ini… siapa orangnya yang butuh jadi artis dulu untuk bisa memamerkan dirinya dimata dunia coba?
Setiap orang bisa upload gambar-gambar dan pengalamannya sendiri dan membaginya pada publik tanpa memandang apapun statusnya. Dan kalau beruntung, setiap orang juga punya kesempatan yang sama untuk membuat postingannya menjadi viral dan bikin dia terkenal di dunia.
Jadi siapa bilang cuma artis yang bisa melakukan itu?
Di jaman sekarang ini semua orang bisa melakukannya, itu kalau memang mau 😀 .
Saya kok trus jadi punya prasangka ya, para wanita yang suka sinis itu sebenarnya sirik karena suaminya kolot dan menganggap bahwa terlibat aktif dalam proses kelahiran anaknya sendiri itu hal yang “menjijikkan”.
Kalau mereka mau jujur, pasti akan mengakui bahwa orang yang paling terdekat dalam hidup kita dan paling punya potensi untuk memberikan dukungan moril dan kekuatan untuk berjuang, yang seharusnya paling bisa dipercaya adalah orang terkasih kita… (bahkan yang harusnya paling layak untuk jadi tempat kita mempercayakan nyawa. Bukankah setiap proses melahirkan itu adalah saat antara hidup dan mati?)
Dan siapa lagi itu kalau bukan belahan jiwa kita sendiri (logisnya lho ya)?
Yang paling diharapkan selalu ada disisi saat itu adalah pasangan hidup kita, kecuali jika sikon tidak mengijinkan itu.
Para wanita yang pasangannya tidak merasa bahwa mengekspresikan kasih itu hal yang memalukan dan tabu, tidak akan mengungkapkan hal-hal yang sinis seperti itu, bahkan meskipun dia sendiri kebetulan tergolong orang yang suka melindungi privacynya seperti saya.
Orang yang isi kepala dan hatinya bersih, merasa “content” dengan hidupnya, tidak akan sinis dengan kebahagiaan orang lain, karena dirinya sendiri juga sudah cukup bahagia :-D.
Sepertinya istilah: “Susah ngeliat orang lain senang dan senang ngeliat orang lain susah”, kadang-kadang emang tepat banget untuk diterapkan pada “jenis-jenis” tertentu manusia di Indonesia hahahahaha.

Saya sendiri… mungkin juga ngga selalu menganggap semua informasi yang saya temukan di Internet itu bagus untuk diterapkan pada saya, tapi saya tetap bisa menghargai setiap informasi yang dibagikan orang. Semua adalah tugas kita sendiri masing-masing untuk menyaring mana yang cocok dan mana yang nggak buat kita, tapi tetap sangatlah bagus bahwa ada begitu banyak yang bisa kita temukan dengan bantuan internet di jaman modern ini.
Meskipun tak ada ibu yang bisa mendampingi, kita jadi nggak merasa buta dan “helpless” dengan adanya semua itu.

Ok deh..sekian dulu ocehan saya hari ini… sampai jumpa lain kali hehehe.

 

 

Burnout-Syndrom: Depresi dimasa studi bukanlah isu ringan

Standard

DEPRESI, sepertinya topik ini di masyarakat Indonesia masih tabu untuk dibahas seolah itu adalah sebuah aib yang sangat memalukan. Depresi itu bukan dosa apalagi kejahatan, melainkan gangguan kesehatan yang efeknya tidak bisa dianggap remeh bahkan bisa menjadi sesal berkepanjangan tidak berhasil diatasi sebelum terlambat.
Untuk menemukan solusi yang optimal sebelumnya orang harus mencari akar masalahnya dulu, jadi menutup-nutupi masalah bukanlah jalan terbaik yang bisa diambil, karena hanya dengan tidak membahasnya dan menutupinya tidak lantas berarti masalah itu jadi menghilang dengan sendirinya.

Orang yang sedang mengalami depresi itu butuh support dari orang-orang disekitarnya, mereka tidak bisa berjuang sendirian. Semakin mereka merasa sendiri semakin besar perasaan “helpless” dan ancaman bunuh diri juga makin kencang. Karena itu “awareness” dari orang-orang disekitar kita sangat besar peranannya.
Belum lama saya menulis sentilan kepada orang-orang yang hobinya mencari perhatian publik dengan sengaja menyebar kisah dramatis pribadinya dan menjelek-jelekkan partner/anggota keluarganya sendiri. Tulisan tentang depresi ini tidak lantas berarti menunjukkan bahwa saya nggak konsisten dengan opini saya.
Karena ini adalah dua hal yang jauh berbeda.
Cukup jelas kok bedanya, orang yang berbagi dengan niat mencari solusi dengan orang yang cuma mencari “cheerleaders” dan teman bergosip, cuma mencari pembenaran akan attitude-nya dan keluhan-keluhannya yang jelas-jelas kekanak-kanakan (yang kayak gini mah lebay namanya).
Orang yang benar-benar depresi biasanya itu justru cenderung tertutup, karena itulah perasaan “helpless” jadi besar, seolah mereka ngga punya siapa-siapa yang bisa mengerti dirinya, mungkin bahkan adanya rasa malu dan gengsi untuk mengakui bahwa dirinya punya masalah itulah yang makin memperburuk keadaan. Apalagi jika kita tumbuh di masyarakat dimana “kehilangan muka” dan “kehormatan” serta “prestige” itu dipandang sebagai hal yang sangat krusial seperti Indonesia.

Saya bukan psikolog ataupun psikiater, sehingga saya tidak cukup berkualifikasi untuk menganalisa tentang depresi. Disini saya cuma ingin berusaha membangkitkan kesadaran akan adanya bahaya depresi dikalangan calon akademisi kepada masyarakat Indonesia yang kecenderungannya saya lihat masih berpandangan terlalu sempit, menganggap itu suatu hal yang memalukan hingga tak pantas untuk dibicarakan secara terbuka.
Padahal itu adalah isu yang bisa menimpa siapa saja, dan sekecil apapun kesediaan untuk berbagi atau memberi perhatian pada isu ini, mungkin akan bisa menyelamatkan nyawa banyak orang yang mungkin saat ini sedang menghadapi masalah tersebut.
Yang sudah pergi takmungkin kembali, sudah terlambat untuk berbuat sesuatu baginya kecuali sekedar mendoakan.
Tapi diluar sana masih banyak orang-orang lain yang mungkin masih bisa dibantu sebelum terlanjur terlambat pula baginya.
Sebagai kaum intelektual, seharusnya bisa membedakan antara “tulisan bertendensi gosip” dengan tulisan yang sifatnya informatif dan edukatif sehingga lebih banyak manfaatnya daripada mudharatnya.
Depresi dikalangan mahasiswa janganlah diremehkan. Di Jerman sendiri tercatat setidaknya 1 dari 5 mahasiswa didiagnosis mengalami depresi. Informasi bisa dilhat disini, disini dan disini. Dan kasus bunuh diri karena depresi juga bukanlah hal yang langka. Mahasiswa Indonesia juga tidak terkecualikan dari ancaman ini. Terutama karena mereka di usia dimana kondisi psikologis dan emosi mereka cenderung masih labil dan sudah harus hidup merantau dinegeri orang sendirian. Yang orang lokal saja tidak sedikit yang kena lho.
Apalagi kita semua tahu betapa besar pengaruh keluarga dan orang tua pada anak-anak Asia. Banyak sekali kasus dimana mereka bahkan bersekolah itu demi memenuhi ambisi orang tuanya dan bukannya untuk mengeksplorasi bakat dan potensinya sendiri. Banyak anak-anak asia yang terpaksa harus ambil jurusan teknik atau kedokteran cuma karena gengsi dan reputasinya yang bagus, padahal mungkin bakat dan “passion” mereka tidak ada disana. Ini juga merupakan faktor tambahan penyebab depresi lho.
Sementara itu, kultur kita biasanya membawa “bad consciousness” yang sangat tebal ketika yang bersangkutan merasa tak mampu untuk bisa memenuhi harapan-harapan orang tuanya. Ketakutan untuk pulang membawa kegagalan karena bisa memberikan malu pada keluarga, tebalnya rasa bersalah ini membuat semuanya semakin buruk.

Disinilah letak pentingnya kesadaran orang-orang tercinta disekitarnya agar tidak membuat tekanan perasaan ini semakin besar. Supaya kelak tidak ada sesal dibelakang hari jika si anak pada akhirnya benar-benar tak bisa menahan godaan untuk mengakhiri semuanya dengan cara yang salah.
Disinilah perlunya tulisan-tulisan yang bisa membuka mata orang-orang kita akan potensi depresi bahkan pada anak-anak yang “sepertinya” sejauh ini baik-baik saja, patuh, tidak pernah nyusahin keluarga, bahkan mungkin pinter.
Jangan salah, “the really intelligent people are even more likely to have stress and they are often pessimistic/skeptical towards the world.”
Terlalu tinggi harapan pada anak (apalagi sampai pada level “tuntutan”) itu sama riskannya dengan terlalu memanjakaan anak.
Tolong jangan abaikan peluang untuk menunjukkan pada anak bahwa mereka tetap dicintai dan ngga akan dianggap sebagai perusak reputasi keluarga hanya karena mereka ngga selalu pulang membawa kesuksesan karir atau prestasi akademis.
Didunia ini ngga semua orang harus jadi insinyur, dokter, ilmuwan ataupun ekonom top.
Yang tidak bisa memiliki karir seperti itupun ngga lantas berarti mereka ngga berharga dan nggak layak dibanggakan lagi.
Dengan begini, setidaknya mungkin kita bisa mengurangi beban mental mereka yang sedang berjuang menempuh studi dinegeri orang.
Kuliah di jerman itu nggak gampang… angka kegagalannya mencapai hampir 50%, secara general… ngga cuma pada mahasiswa asing melainkan seluruh mahasiswa di negeri ini.
Gagal bukanlah hal yang memalukan, itu bukan dosa bukan tindakan kriminal, dan bukan pula akhir dari hidup. Gagal disatu bidang tidak lantas berarti kita akan gagal dalam semua hal.

Yang paling penting lagi… sebaiknya dikembangkan kebiasaan untuk terbuka. Kita memang nggak harus mengumumkan masalah pribadi pada setiap orang, kepada publik, tapi setidaknya janganlah semua hanya disimpan sendiri jika itu terasa berat.
Berbagilah pada teman terdekat atau siapapun itu yang bisa diajak berbagi cerita.
Jika memang tak ada teman yang bisa dipercaya, pergilah mencari bantuan professional bila ada masalah. Di Jerman sini apalagi, ada banyak sekali layanan konseling gratis.
Setiap orang juga punya asuransi sehingga mencari konsultan yang nggak gratis juga bukanlah sebuah masalah.
Jangan anggap “depresi”, “stress” dan “burnout syndrom” itu hal yang memalukan. Itu hal yang bisa terjadi pada siapa saja.
Forum-forum online untuk saling berbagi secara anonym seperti ini misalnya,  juga bisa dimanfaatkan.
Semoga tulisan ini bisa dianggap bermanfaat, karena saya sama sekali nggak ingin bergosip ^_^ .
Turut berduka cita bagi siapa saja yang saat ini sedang berduka karena orang yang dikasihi meninggalkannya gara-gara tak mampu mengatasi depresinya…
Semoga angka korban depresi dikalangan mahasiswa (khususnya) bisa berkurang dimasa mendatang.

Sampai Jumpa.

Pria “Bule” atau Lokal, mana yang lebih OK? Kenapa milih “bule”, apa mereka emang lebih baik daripada lokal?

Standard

Wanita yang pasangan hidupnya non-Indonesia, pasti sangat familiar dengan yang ini. Jawaban setengah bercanda mungkin sering diberikan seperti: “Wah, baru pernah menikahi salah satu doang, jadi ya ngga tahu gimana bedanya :-D!”
Jawaban yang “crafty” sih hehe, aku juga kadang pakai terutama jika yang saya hadapi orang yang sekedar kepo alias usil bin nyinyir.
Tapi jika ini adalah pertanyaan yang diajukan secara serius, maka saya juga nggak keberatan untuk menjawab dengan serius juga, dan itu akan saya lakukan sekarang melalui tulisan ini :).

Kalau mau jujur, kecuali kita tergolong wanita konservatif yang belum pernah pacaran sekalipun dan kemudian mendapatkan suami WNA-nya melalui jalur “Ta’aruf”, saya rasa kemungkinan besar sebenarnya kurang lebih tahu bedanya gimana bentuk interaksi hubungan dengan pria lokal (Indonesia) dengan pria asing. Mungkin memang belum pernah tinggal bersama, tapi jika pacarannya cukup lama sepertinya kita akan tetap bisa membandingkan kurang lebih seperti apa kira-kira kalau hidup dengannya sebagai suami istri dan mengapa kita lebih milih si A atau si B untuk menghabiskan hidup.
Saya kebetulan pernah ngalamin “in love” dengan pria dari 2 golongan ini.

Lalu apa jawabannya?!?
Kalau menurut pendapat saya, kita tidak bisa menjawab pertanyaan ini secara “overall”, karena setiap manusia pada dasarnya memiliki kepribadiannya masing-masing. “Bule” ataupun Indonesia, sama-sama manusia juga kan? Walaupun mungkin memang ada pengaruh kultur pada kebiasaan dan pola pikir mereka.
Tapi jika kita ingin membandingkan “attitude” atau pola pikir mana yang lebih baik, saya rasa itu juga kurang pas. Kalau kita mau bilang pria bule lebih baik, apakah lantas kita mau bilang bahwa wanita yang bersuami pria Indonesia dapat pilihan buruk dan nggak bahagia? Begitu juga sebaliknya jika saya bilang pria Indonesia pola pikir dan “attitude”-nya lebih baik, apa itu berarti wanita yang bersuamikan “bule” lantas kebahagiaannya cuma semu? Kan itu juga absurd.

Sejauh ini saya sering bilang bahwa setelah mengalami beberapa kali hubungan dengan orang lokal yang gagal, saya akhirnya berkesimpulan bahwa saya lebih suka dengan pria eropa dan nggak merasa cocok dengan pria indonesia. Tapi itu nggak berarti saya berpendapat bahwa pria Indonesia itu nggak baik. Saya hanya berkesimpulan bahwa kepribadian dan pola pikir saya jauh lebih sesuai dengan pola pikir eropa. Saya sering bilang bahwa saya ngga ingin mencari imam tapi mencari partner hidup. Itu memang benar. Tapi ini juga ngga berarti lantas wanita-wanita yang bertujuan mencari imam bagi hidupnya itu melakukan kesalahan.
Kebutuhan dan apa yang dianggap seseorang mampu membuat hidupnya terasa “content” itu kan emang sifatnya sangat personal, jadi ya memang tidak bisa distandardisasi. Belum lagi kalau kita sudah bicara “CINTA”.
Tidak ada cinta yang salah. Yang ada hanyalah orang yang membuat pilihan penting dalam hidup secara tidak sensibel hanya karena mengikuti emosi dan hasrat hati.
Saya merasa jauh lebih cocok dengan pria Eropa karena pada umumnya mereka memberikan saya ruang privat yang cukup luas untuk melakukan dan memutuskan sesuatu yang cuma relevan bagi diri saya secara mandiri. Saya nggak harus selalu minta pendapat apalagi ijin pasangan jika saya merasa itu tidak punya efek tertentu pada dia atau kepentingan bersama. Saya adalah seseorang yang butuh ruang yang luas untuk diri saya, karena itu saya tidak suka dengan tendensi pria asia untuk merasa perlu “menjadi sosok pelindung”dan mengurusi pasangannya.
I don’t need protector nor a guardian, I can protect my self well enough.
Tapi kan ada juga wanita yang menyukai perhatian besar dan luas seperti ini and that’s absolutely fine.
Pria asia cenderung menunjukkan perhatian yang besar jika mereka sayang, antar jemput seolah menjadi kewajiban, cemburu itu tanda cinta, dan hal-hal semacam itu. Itu adalah kesan saya sejauh ini.
Jadi saya kurang sepakat dengan ungkapan bahwa pria eropa selalu lebih romantis daripada pria asia. Karena untuk bisa memberikan evaluasi seperti itu, sebelumnya kita harus tetapkan dulu apa itu yang bisa dikategorikan “romantis”?
Apakah dengan memberi bunga itu cukup untuk bisa dilabeli “romantis”? Lantas apakah jika pria Indonesia yang tahu bahwa pacarnya tidak punya kendaraan pribadi selalu menyempatkan diri untuk menjemputnya pulang kerja menempuh macet meskipun lokasi mereka sangat jauh, karena nggak tega membiarkannya berdesakan di buskota dan ambil resiko mengalami pelecehan seksual tidak bisa dikatakan “romantis”?
Cowok Indonesia itu justru lebih banyak lho perhatiannya kalau sedang naksir cewek. Telepon rajin cuma untuk nanyain udah makan apa belum, bersedia direpotin ngantar kemana-mana, kalau kebetulan punya banyak duit juga mereka malah lebih royal dengan hadiah dan traktir-mentraktir… karena kultur asia yang patriarki mendidik mereka untuk menjadi penopang finansial keluarga, jadi royal dalam hal duit pada “wanitanya” jika mereka berdompet tebal bukanlah hal istimewa di Asia. Jadi asumsi bahwa kawin dengan pria “bule” bisa hidup lebih royal dan gaya itu nggak selalu benar. Pria asia nggak kalah royal kalau punya duit, malah kalau berdasarkan pengalaman saya asia justru lebih royal.

Saya tipe orang yang sangat pragmatis, karena itu saya justru tidak nyaman dengan hal-hal semacam itu. Tapi kan banyak wanita yang justru menikmatinya. Kecenderungan posesif pria Indonesia (kebanyakan ya, bukan berarti ngga ada pengecualian) sangat mengganggu saya, tapi ada kelompok wanita lain yang justru merasa terganggu kalau pasangannya ngga pernah cemburu dan memberinya banyak kebebasan. Golongan ini cenderung menganggap terlalu banyak memberi kebebasan itu adalah signal ketidakpedulian.
Apakah sekedar sering bilang “I love you”, memberi panggilan “sayang, darling, dst” itu cukup untuk mengkategorikan seseorang “romantis”?
Suamiku malah justru bilang: “Kata cinta kalau terlalu sering diucapkan nanti malah inflasi lho 😀 .”
Hah, inflasi gimana? Lha iya, kalau terlalu sering di ucapkan sehari-hari, lama-lama kesannya jadi ngga istimewa lagi, jadi kaya orang makan dan minum saja. It will be taken for granted. So, my hubby is very rarely saying “I Love you”, he also calls me by Name, tanpa embel-embel “Schatz, darling, honey, sayang, etc…” Nggak pernah kasih bunga (bagi dia: janganlah merampas sumber makanan serangga hanya untuk kesenangan kita yang cuma sesaat saja), ngga nganter aku kemana-mana, bahkan nggak pernah nanyain atau nyari apalagi neleponin dan SMS-in kalau aku pergi keluar rumah nanya kapan aku pulang, ngga punya tradisi harus selalu ngasih hadiah ultah atau dinner romantis misalnya (Don’t get me wrong, I don’t mean to say that those habit is bad hehehe. I just said that this habit doesn’t suit to everyone  LOL. All my ex-indonesian lover have done all those so called “romantic” things. Jadi kembali ngga selalu tepat untuk bilang bahwa semua pria indonesia nggak ekspresif dalam soal perasaan hehe).
But I just know that he really really cares about me, sees me as the only thing he would never leave behind and spoils me with his own way.
Contohnya aja: Dia selalu membujuk-bujuk aku untuk ikut kalau dia ingin jalan-jalan ke hutan, semua teman dia menjadi temanku juga karena aku nggak pernah ketinggalan diajak selama aku mau, dia nggak pernah membangunkan aku dan bahkan dengan hati-hati secepat mungkin mematikan weker kalau terpaksa dia harus bangun pagi, he brings me to sleep everyday… Yes indeed, he might nearly never say the word “Love” bahkan celetukan-celetukannya kadang-kadang lebih sering bikin aku geregetan dan gemas keki, but he brings me to sleep the way  my mom and dad always did when I was still a child (I think you understand how it is)  ðŸ˜€ 😀 .
Aku bilang semua ini untuk menunjukkan betapa karakter setiap orang itu unik, jadi tidak bisa kita mengkategorikan apakah “bule” pasti begini dan pria asia itu begitu, bule pasti lebih baik dari pria indonesia ataupun sebaliknya.
Yang benar adalah: bahwa setiap orang akan lengkap dan “content” hidupnya hanya jika dia menemukan pasangan yang “pas” sesuai dengan kebutuhannya ngga cuma secara fisik tapi juga psikologis, dan itu terlepas dari status apakah itu dengan “bule” atau dengan orang “asia”. Dan hal itu hanya bisa dinilai oleh orang-nya sendiri masing-masing, ngga bisa mengambil cermin dan memakai standard penilaian dari orang lain.
Orang barat dan Asia keduanya memiliki daya tariknya sendiri. Saya memilih menikahi orang eropa, tapi nyatanya saya juga suka banget dengan gantengnya artis asia seperti: Wallace Huo, Hu Ge, Saif Ali Khan dan Takeshi Kaneshiro hehehe.
Saya memilih pria eropa cuma karena sejauh ini saya kebetulan ngga pernah beruntung berkenalan dengan pria indonesia yang bisa membuat saya merasa lengkap, yang cocok dengan kepribadian saya. Itu aja.
There is no man better or worse, apalagi dari bangsa ini atau itu yang lebih baik atau lebih jelek… yang ada hanyalah: apakah pria A, B, atau C itu cocok dengan kita atau tidak, terlepas darimana dia berasal, bangsa apa, juga agama/kepercayaan apa yang dia peluk atau justru ngga punya agama. Baik dan buruknya karakter atau attitude seseorang, tidak selalu berhubungan dengan kebangsaannya, tapi lebih pada entah itu karakter bawaan genetis dan seperti apa proses tumbuh kembangnya sejak anak-anak sampai menjadi dewasa.

Jadi tolong teman-teman wanita indonesia yang suka nanya seperti ini: “Enak ya kamu dapat suami ‘Bule’?”, apalagi kalau kamu sendiri sudah punya pasangan, janganlah bertanya hal semacam itu lagi.
Karena secara tidak langsung kamu akan membuat orang jadi bertanya-tanya: “Apakah kamu nggak puas dengan suami lokal kamu sendiri? Apakah kamu mau mengatakan bahwa suami Indonesiamu itu nggak cukup baik? Kalau nggak baik kenapa dinikahi?”

Sampai jumpa lain kali…. 🙂

Ibarat menjemur pakaian dalam kotor didepan rumah…

Standard

Kembali nyentil dikit ya prens… sekali-kali nulis tema sosial nih, udah banyak yang ngomongin pulitik 😀 .

Kali ini saya pengen ngebahas soal ibu-ibu yang suka curcol terbuka tentang rumah tangganya sendiri. Cuma catet ya: tolong dibedakan antara seseorang yang posting di grup medsos yang relevan secara “sachlich”, maksudnya obyektif menceritakan inti masalah sekedar sebanyak yang dibutuhkan untuk mendapatkan jawaban/solusi yang logis dan “feasible”, dengan seseorang yang pada dasarnya cuma butuh cheerleaders alias mencari simpati doang walaupun itu dengan harga yang harus dibayar mahal oleh keluarganya sendiri (yaitu rusaknya reputasi anggota keluarganya sendiri).

Seorang wanita yang RT-nya diambang kehancuran dan sedang mencari tahu prosedur perceraian berikut masalah-masalah yang menyertainya, seperti hak asuh anak atau layanan perlindungan dari KDRT misalnya, itu masih bisa dimaklumi jika bernarasi tentang masalahnya di forum yang memfasilitasi ini.
Katakanlah tujuannya ingin mencari informasi tahap awal secara gratis gitu. Bertanya secara obyektif itu nggak sama dengan “ranting publicly and yammer anytime” tanpa kontrol.
Tapi seorang wanita yang bercerita disetiap forum, di page pribadi dirinya atau temennya sendiri setiap kali BT dan berantem dengan suaminya, dan bercerita semua kejelekan dan kekurangan suaminya atau tentang betapa merananya dia dalam hubungan cintanya, semua ketidak puasannya akan sikap sang suami, dan itu bahkan nyaris disetiap kesempatan secara terbuka, di wall sosmed ya… bukan japri lho, jadi ngga cuma teman terdekat yang tahu akan tetapi “practically everyone”.
Ingat, sosmed itu tempat publik, biarpun di wall pribadi tetep bisa diakses siapa saja yang dalam daftar teman, dan bahkan bisa dishare lagi kemana-mana. Apalagi teman di sosmed itu biasanya ratusan, bahkan ada yang sampai ribuan segala.
Wanita yang begini ini membuat saya kadang ngerutin jidat. Dikepala saya lantas muncul beberapa pertanyaan ini:
“Kok bisa ya dia masih ngedumel kalau akhirnya menjadi bahan gosipan?! Bukannya dia sendiri yang justru memberikan bahan gosip pada semua orang?!”
“Sebenarnya apa sih yang ingin dia dapatkan dari semua itu? Dapat solusi tidak, menambah masalah lah iya…
“Sebenarnya dia masih ada rasa sayang dengan pasangannya atau nggak? Apalagi kalau udah ada anak ya… Kalaupun rasa cinta udah minim, apakah tak ada lagi sedikitpun respek tersisa buat sang ayah dari anaknya?
Ketika curcol macam itu, sudah pernah mikirin resiko adanya orang yang laporin curcolannya itu pada sang pasangan atau keluarga pasangannya nggak? Apakah emang sudah siap dengan resiko sang pasangan/keluarganya menjadi sakit hati hingga masalah yang awalnya mungkin bahkan cuma kesalahpahaman atau kekeraskepalaan saja akhirnya menjadi situasi yang tak tertolong lagi?
Apakah memang sudah tidak ingin menyelamatkan pernikahannya lagi?
Jika masih cinta, belum pengen bubar jalan… berpikirlah ratusan kali sebelum nyebar aib suami sendiri gitu lho.
Kalaupun memang udah ngga mau lagi melanjutkan hubungan dan kemarahan udah tak tertahan hingga jadi masa bodoh kalau reputasi pasangannya rusak…
Oke deh itu masih bisa dimengerti ya, namanya juga udah ngga ada lagi cinta, tapiii…
Tidak pernah juga kah terlintas dibenaknya, bahwa apapun yang dia lakukan selalu bisa dijadikan senjata melawan dia oleh sang pasangan dalam persidangan perebutan hak asuh misalnya?
Jangan salah lho, image yang tercipta adalah seseorang yang tidak “mature”, emosi tidak stabil, psikis terganggu, bukan contoh yang layak untuk mendidik anak… dan semacamnya, itu semua adalah contoh argumen kuat yang bisa dipakai untuk melawan dia lho.
Tidak ada yang namanya rumah tangga selalu mesra dan muluss-mulus saja, itu bull shit.
Namanya dua manusia hidup bersama memiliki konflik itu lumrah saja, tapi cara orang menghadapi konflik… setidaknya bagaimana bersikap dimuka publik itu sangat menunjukkan kualitas karakter seseorang.
Spoiling emotion uncontrollably will never help, it only create more damage in the end.
Lagipula, kok seneng amat sih menjadi objek belas kasihan orang? Kalau saya kok malu hati ya…
“Attitude” macam itu ibarat menjemur pakaian dalam kotor di depan rumah sendiri, kita sebagai pemilik baju kotor itu dan semua yang menjadi penghuni rumah itu semuanya akan ikut malu karena setiap orang lewat, baik itu kenal ataupun tidak semua bisa melihat baju dalam kita yang kotor dan bau itu.

Saya juga kadang pasang status tentang pasangan yang “terkesan” ngomel sih, tapi saya rasa masih bisa terlihat jelas kok bedanya, apakah “omelan” saya itu serius dan bisa merusak reputasi atau hanya setengah bercanda, sekedar ledekan tentang celetukan-celetukan atau aksi konyol si abang saja.
Ekspresi kekesalan yang ngga begitu berarti, yang kalaupun ketahuan orangnya juga ngga akan bikin perang baratayudha gitu lho. Yang begini sih lain cerita, karena yang baca juga ngga kasihan tapi justru mungkin jadi nyengir. Karena emang kadang bikin gemes itu para suami hehehe. Gemes biarpun kadang sampe pengen nyubit saking geregetannya, dengan beneran sakit hati yang bisa bikin nangis itu lain lho…
Aku kalau baca status orang yang kaya gini sih ngga bakal negatif mikirnya. Karena emang beda kok kesan yang tercipta itu.

Mungkin orang akan bilang, kok saya nyinyir amat… sosmed2 dia sendiri, yang diumbar aibnya itu suami-suami dia sendiri, itukan suka-suka dia toh?!
Well, yup betul…itu betul sekali, saya juga nulis ini bukannya mau ikut campur kok.
Urusan mereka sendiri juga ini, mau dapat susah atau nggak juga bukan masalahku hehehe.
Berhubung saya ngga suka status model begini juga toh gampang sekali kok solusinya, tinggal “unfollow” kan dijamin aman, daripada sakit mata dan merusak mood aja kan hehehe. Orang yang bawaannya umbar masalaaaah melulu itu auranya gelap, bikin orang jadi ikutan mellow aja LOL.

Ini memang cuma sekedar berbagi opini aja, siapa tahu ada pembaca yang mungkin sempat pernah baper dan nyaris khilaf karena jengkel pada si abang dan tadinya nggak terpikir sampai kesana. Siapa tahu tulisan saya ini terus jadi membuatnya jadi berfikir ulang… sebelum memilih memanjakan kemarahan dan sakit hati tanpa kendali.
Saya justru akan ikut senang, kalau setelah membaca tulisan saya ini,
pembaca yang mungkin diam-diam sedang ada masalah dalam rumah tangga akhirnya jadi bisa terhindarkan dari potensi “memperkeruh” suasana karena curcolan tak terkontrol disosmed hanya gara-gara emosi sesaat. Jadi tujuan saya nulis ini justru baik, bukan melulu untuk nyinyirin orang lho hehehe.
(Well, tapi kalau masih ada yang sensian juga ya apa mau dikata. I’m only responsible for what I said, not for what the others understand ^_^ ).
Padahal sesal kemudian nggak ada gunanya kan?
Jangan sampai kaya pepatah jawa: “Kriwikan dadi Grojogan”, awalnya cuma hal sepele akhirnya malah jadi gede :).
By the way… bukan maksud saya lantas kita harus munafik ya, belagak sok hepi sok mesra demi jaim lho. Kayak begini mah konyol juga namanya :-D.
Maksud saya intinya adalah:
“We just don’t need to spread our private issues to the world, to the people who are basically unrelated personally to us at all. Especially not without any rational and justifiable aim.”
Most people wouldn’t really have concern about you anyway. You’re already considered lucky if they just ignore it and merely giving a superficial consolation. The problem is, it’s even more likely that at least half of your audience would look at you with hidden disdain and talk behind your back despite their flowery words.
People tend to love scandals… That’s unfortunately the reality in this world, babe… 🙂
You’d only feed them with hot topic for gossipping.
People who would really care about you and take time to really seek solution with you normally are only those, whose contact details actually in your list anyway.
You can always contact them personally, right?
And remember well, friends with good and genuine intention to help you would speak to you honestly and straightforwardly, although their honesty sounds bitter to you.
On the other hand, those who only act like cheerleaders, are not the one useful to you.

See you next time 😉