Hari ini tepat setelah saya kirim ucapan selamat berlebaran kepada teman-teman lama tiba-tiba saya kembali mendapatkan pertanyaan macam ini:
“Maaf An, apakah kamu masih muslim?”
Tja… apakah itu penting? Ataukah barangkali, andai saya bukan muslim lagi, ucapan selamat dan “good wishes” dari saya tidak lagi punya nilai dan ngga layak lagi diterima? Apakah jika saya tdk lagi muslim, saya jadi tidak memenuhi kualifikasi sebagai teman lagi?
Lagipula… jika saya menjawab “masih” sekalipun, darimana sang penanya bisa tahu apakah saya bohong atau nggak?
Lalu andai si penanya menjawab balik begini: „Emang sih, saya mungkin nggak tahu, tapi kan kamu sendiri tahu apakah kamu bohong, juga konsekuensinya sebuah kebohongan. Tuhan juga kan tahu kalau kamu bohong.“
Aha…well said, kalau begitu, apa gunanya juga nanya?
Toh pada akhirnya cuma saya dan Tuhan yang tahu status spiritual saya bukan?
Ikhlas atau nggak dan diterima atau nggak ibadah saya juga cuma Tuhan yang tahu kan?
Jadi buat apa sih sering-sering menonjolkan status keagamaan dan ritual ibadah…?
Apakah demi mendapat pengakuan manusia lain?
Eniwei buswei … padahal apa sih artinya pengakuan manusia lain?
Jangan salah ngerti ya, saya nggak tersinggung atas pertanyaan itu kok,
karena saya menyadari bahwa bagi orang indonesia pertanyaan macam itu bukan hal yang langka alias biasa saja, karena konsep “privacy” alias “private affairs” bagi sebagian besar masyarakat Indonesia itu sepertinya hal yang sangat “asing”.
Tapi “menyadari” bukan berarti saya setuju untuk menerapkannya pada diri saya juga.
You may ask, but I also have the full right not to answer such question.
It’s not that I would mind if my social or spiritual status is being revealed, but merely because my private affairs just don’t concern you (…or anybody at all).
Jika itu sekedar “curiousity”, pertanyaan iseng, tanggapan saya adalah:
“Please, jangan pelihara lagi kebiasaan untuk kepo akan hal apapun yang sudah masuk wilayah pribadi orang.
It’s not appropriate question.
Pertanyaan soal agama, itu sebanding dengan pertanyaan akan umur orang (khususnya pada wanita), kapan punya anak atau kenapa ngga punya anak, suamimu sunat atau nggak, kapan kawin, gaji (eh serius lho, dulu sering dengar juga pertanyaan soal gaji ini, dan itu bukan karena ada topik yang sesuai seperti misalnya diskusi umum akan standar gaji profesi tertentu di daerah tertentu, melainkan emang sekedar kepo), dan semacamnya.
Pertanyaan tentang hal-hal pribadi macam itu sangat tidak sopan, terlepas dari fakta apakah yang ditanya sebenarnya punya jawaban menyenangkan atau nggak.
Tolong perhatikan itu jika kamu memang masih berminat untuk berada didalam lingkaran pertemanan dekat saya.”
Ini bukan karena saya merasa ngga punya jawaban yang membuat kalian senang… (I don’t live to get your approvement or your liking anyway…), melainkan lebih karena ini adalah soal prinsip.
Dulu ada juga teman lain yang bertanya hal yang sama dan beralasan bahwa itu karena dia ngga mau salah ketika ngasih ucapan selamat dan „good wishes“ pada saya (katakanlah: ngucapin selamat Natal, selamat berhari raya nyepi, waisak dst. pada orang yang merayakan Lebaran atau mungkin sebaliknya).
Well… let me tell you something!
Dimana letak kesalahan dalam mendoakan/mengharapkan hal-hal yang baik dan menyenangkan terjadi pada temannya?
Dimana jeleknya menyampaikan ucapan selamat berpesta dan bersuka ria dalam sebuah hari raya. Bahkan pada setiap hari raya, kita yang di Indonesia biasanya dapat libur lho. Dan saya kira, setiap hari libur itu pantas disambut dengan suka cita oleh siapapun hehehe.
Does it make sense at all to be angry or reverse, to apologize for some good wishes?
Jadi buat saya itu bukan isu.
Saya senang-senang aja menerima „good wishes“ dari teman-teman saya, apapun itu kepercayaan saya.
Kalau menerima “wishes” supaya segera “dilaknat” dan disumpahin jadi kerak “neraka”, kena “azab” dan semacamnya…
Naaaah itu baru deh beneran bikin sakit hati, ya nggak, hayooo?!?
Akan tetapi jika kamu memang merasa bahwa status spiritual saya itu jauh lebih penting daripada kepribadian saya dan cara saya memperlakukanmu sebagai manusia,
sehingga pertanyaan macam itu menjadi perlu kamu sampaikan, well…
Jika artinya kamu memang tergolong pada kaum yang menelan mentah ayat suci dengan mengabaikan akal sehat serta etika, hingga menganggap bahwa nonmuslim itu orang kafir yang bahkan dijadikan teman dekat pun sebenarnya nggak boleh… hmmm
yakinlah saya nggak akan merasa kehilangan kok kalau kamu keluar dari lingkup pertemanan saya.
Saya hanya suka berteman dekat dengan orang-orang yang juga berfikiran positif terhadap teman-temannya tanpa pandang bulu; yang berbuat baik, saling tolong dan bersikap menyenangkan tanpa memilah alias pilih-pilih status sosial juga spiritualnya.
If you’re nice to me then I’ll be nice to you, that’s the most essential law to be my friend. Period.
Hubungan saya dengan sang Pencipta itu cuma urusan saya langsung dengan DIA seorang.
Bukannya surga itu propertinya Tuhan?!?
Logika sih kayanya cuma Tuhan yang bisa kasih kita surga ya, jadi ngapain sih repot-repot mikirin
urusan spiritual orang lain hehehe.
Saya ngga membutuhkan pengakuan manusia lain apakah saya ini orang mukmin atau nggak, karena bagi saya yang punya hak prerogratif atas pengakuan dan penentuan kadar iman saya hanya Sang Pencipta itu sendiri.
Sungguh ngga disangka, hanya beberapa jam setelah saya posting ucapan selamat lebaran dan berniat ingin membersihkan jalur pertemanan dari sampah dan duri beracun seiring datangnya bulan syawal yang fitri, saya mesti membuat tulisan yang mungkin membuat jalan itu kembali penuh onak. Tapi itu sebenarnya bukanlah hal yang saya harapkan. However I just can’t help it, some people just have to drive me to do it…
Na ja, this is me and my principle— if you dislike it, just feel free to remove me from your friendlist.
I believe that if God really exist and so allmighty, then God wouldn’t be a petty personality.
I would definitely be understood.
See you next time. 🙂
And once again sincerely I wish you a happy celebration and nice moments with your loved ones.
Minal aidin walfaizin.
Semoga Ramadan kali ini benar-benar membawa hikmah bagi anda dan berhasil membuat anda menjadi manusia yang berkarakter lebih baik daripada sebelumnya 😉
My religion is not your business. End of story.
LikeLike
Yup… Exactly. Emang itu Intinya yg mau dibilang. Cuma kadang2 kalau yg nanya itu sekedar mereka2 yg terlalu naif dan sebenarnya ngga jahat…apalagi dulu nya teman sekolah yg lama ngga ketemu kok jadi ngga tega juga untuk ngomong gitu.
Tapi sebenarnya agak ngecewain juga justru kalau mengingat fakta bahwa kita dah belasan tahun ngga ketemu masak iya begitu ada kontak lagi kok yang ditanya bukannya :”Hi, Apa kabarnya, selama ini baik2 saja kah? Ntar kalau pas mudik bilang2 ya, siapa tahu kita bisa cari kesempatan untuk ketemuan… Dst… Yg jelas yg lebih layak utk di sampai kan seorang teman lama yg dah lama ngga ketemu gitu lho… Lha kok kalimat pertama nya malah itu. Mana pas habis saya kasih ucapan met lebaran pula… Rasanya kok gimanaaaa gitu lho.
Ngomong2 Maaf baru sempat balas. Belum lama punya bayi nih, jd blognya lumayan nggak terurus hehe.
LikeLiked by 1 person