Repost from my page in Steemit, original URL=
https://steemit.com/parenting/@kobold-djawa/kebiasaan-ngasih-makan-anak-orang-tanpa-ijin-ortunya-di-indonesia-indonesians-are-accustomed-to-just-share-food-to-children
__________________________________
Halo sobat Steemians…
kali ini tulisan saya membahas tentang isu yang cukup penting untuk jadi bahan renungan bagi publik Indonesia, karena itu saya merasa penting untuk menulisnya dalam bahasa Indonesia.
Sebelum saya mudik beberapa waktu lalu, ada beberapa hal yang menjadi sumber kekhawatiran saya terutama karena sekarang saya akan membawa anak satu-satunya yang umurnya baru 1,5 tahun.
Tapi berhubung ada beberapa isu yang ingin saya bahas sementara saya ingin tulisan saya ngga terlalu melelahkan untuk dibaca karena terlalu panjang, maka akan saya batasi topiknya dengan membaginya menjadi beberapa artikel.
Isu pertama adalah soal makanan.
Selama ini saya sudah sering mendengar keluhan dari teman2 seperjuangan (hadeeh seperjuangan wkwkwkw), maksud saya senasib sepenanggungan dinegeri orang LOL… , topiknya adalah tentang kebiasaan orang Indonesia (sepertinya di Asia pada umumnya mirip2 sih) untuk asal ngasih makanan pada anak-anak tanpa nanya ortunya dulu.
Ngerti sih, secara umum mereka tuh ngga ada niat jelek, cuma mau berbaik hati dan beramah tamah dengan anak kecil yang dianggap menyenangkan.
Tapi itu adalah hal yang sebenarnya ngga seharusnya dilakukan. Sayangnya, ketika kita mengingatkan dan juga wanti-wanti pada saudara dan ortu yang lagi ngajak anak kita main untuk jangan biarin anak kita makan pemberian orang sembarangan, seringnya itu malah jadi sumber konflik. Dianggapnya kita sombong mentang-mentang udah jadi orang Eropa. Bahkan tak jarang keluarga kita sendiri pun protes dan ngajak “berantem” gara-gara isu ini.
Well… itu sama sekali salah besar, ngga ada hubungannya sama sekali dengan “kesombongan”, merasa jijik, “nggaya” ngga doyan lagi sama makanan lokal, ngga menghargai atau apapun yang semacam itu.
Ada beberapa alasan yang mungkin dibenak kebanyakan orang Asia ngga pernah terlintas, yaitu sebagai berikut:
1. Pernah nggak terpikir kalau si anak ternyata punya alergi serius terhadap bahan makanan tertentu?
Alergi itu ngga cuma sesederhana kulit bentol-bentol atau merah2 dan gatal ya. Kasus alergi yang serius itu bisa berakibat fatal, bisa menghilangkan nyawa lho.
Alergi kacang misalnya, itu yang serius bisa menutup saluran pernafasan dan efeknya cukup kilat. Di Eropa yang proses pertolongan daruratnya cepat, bahkan bisa manggil helikopter segala kalau perlu pun belum tentu memberi cukup waktu untuk menolong, apalagi di Indonesia dimana ambulan aja bisa terjebak macet dan ngga akan bisa bawa anak ke RS secepatnya. Apalagi kalau kita lagi jauh dari kota besar yang punya fasilitas kesehatan yang komplit.
Seperti di kota kelahiran saya yang dari ibukota propinsi terdekat saja jaraknya 3-4 jam perjalanan naik mobil. Mau nangis darah juga percuma kalau sampai kejadian macam itu terjadi.
Dan produk jadi buatan pabrik yang bahan utamanya bukan kacang misalnya, belum tentu ngga ada jejak kacang sama sekali, apalagi produk rumahan yang ngga terpantau Depkes.
Kasus intoleransi terhadap laktosa pada anak itu juga cukup banyak. Di Eropa setiap produk akan selalu ada keterangan apakah sebuah produk ada kemungkinan jejak bahan tertentu yang bisa memicu alergi, sesedikit apapun itu, tapi di Indonesia nggak ada kewajiban macam itu.
Karena itu, jangan sepelekan isu ini.
2. Di Eropa anak-anak itu secara umum dididik untuk mandiri sedini mungkin.
Disini yang namanya asisten rumah tangga itu nggak umum. Tenaga manusia itu mahal jadi keluarga kebanyakan itu nggak ada yang punya baby sitter yang bisa ngikutin anak kemana-mana. Kita juga ngga bisa nitipin anak ke saudara atau nyuruh orang tua/mertua momong anak dan bertanggung jawab penuh secara kontinyu.
Karena itulah anak-anak dari kecil dibiasakan untuk nggak sembarangan nerima pemberian dari orang tanpa setahu ortunya, apalagi kalau orang itu tidak mereka kenal baik.
Ini penting sekali, karena anak adalah sasaran empuk kejahatan dan paling gampang terbujuk oleh makanan dan mainan. Orang dewasa aja bisa tertipu mulut manis dan senyum ramah, apalagi anak kecil.
Bukannya kita mencurigai tetangga sendiri ya…sama sekali bukan!
Walaupun berdasarkan statistik, pelaku pedofilia itu memang mayoritas justru orang yang ada dilingkungan terdekat si anak sih… tapi diluar isu inipun tetap ada alasan lain yang nggak kalah signifikan, yaitu “pendidikan”.
Mendidik anak bukanlah hal yang gampang dan butuh proses panjang, karena itu kita nggak mau kerja keras kita begitu lama rusak total hanya karena liburan di Indonesia yang mungkin bahkan sebulan aja nggak ada.
Kita ngga mau anak kita jadi kebiasaan suka minta-minta ke orang lain kalau liat anak lain makan sesuatu karena itu nggak sopan, itu satu. Tapi yang lebih penting adalah seperti saya bilang diatas, kita ingin anak kita hati-hati dan ngga gampang terbujuk oleh rayuan orang jahat dengan makanan ataupun mainan, karena anak kita ngga mungkin setiap menit selalu ada dibawah pantauan mata orangtua/pengasuhnya/orang yang kebetulan sedang dititipi tanggung jawab.
3. Kali ini mungkin ngga terkesan serius, tapi sebenarnya juga bisa menjadi serius terutama bagi anak dibawah 3 tahun, karenaa mereka masih tergolong rapuh. Contohnya: Pencegahan “Diare” dan usaha untuk menjaga agar kesehatan dan organ tubuh anak kita terpelihara kesempurnaan fungsinya.
Diare kedengarannya adalah isu ringan, tapi itu jika sifatnya nggak bakterial dan penderitanya orang dewasa yang secara umum sehat. Tapi bahkan bagi dewasa pun, adalah hal yang ngga menyenangkan untuk dialami ketika kita udah ngabisin duit puluhan juta untuk liburan dan ujung-ujungnya harus menderita kan?
Sementara itu, bagi batita, diare pun bisa membahayakan nyawa lho… karena anak sangat gampang dehidrasi dan kalau sakit akan susah makan minum biasanya kan. Anak saya doyan makanan Indonesia, tapi bagaimanapun dia lahir dan besar di Jerman sehingga tubuhnya ngga punya imunitas terhadap kuman-kuman yang ada di Asia. Butuh waktu cukup lama bagi tubuhnya untuk beradaptasi dan satu dua minggu belum tentu cukup, sementara fisik mungilnya masihlah belum setangguh tubuh orang dewasa dalam menghadapi penyakit yang sama.
Dalam hal ini saya sangat bersyukur karena sejauh ini nggak pernah ngalami problem menyusui sehingga si kecil masih bisa dapat asupan ASI cukup banyak sampai sekarang. Dan itu ngga cuma praktis tapi amat SANGAT membantu menjaga ketahanan tubuhnya.
ASI adalah “immunity booster” super wahid, pencegah dehidrasi paling top dan supplier nutrisi ideal bagi anak.
Udah gitu ASI nggak perlu ngeluarin duit ekstra pula.
Karena itu saya sangat menyayangkaan kenapa di Indonesia -bahkan didesa saya yang penduduknya masih banyak yang tergolong miskin pun- lebih suka ngasih anaknya susu formula, meskipun pada dasarnya ngga mengalami masalah dalam menyusui, dan si ibu ngga kerja “full time” diluar rumah pula.
(Padahal kerja diluar rumah pun ASI bisa dipompa dan disimpan di kulkas lho!)
Selain itu, mungkin tidak banyak rakyat kita yang menyadari bahwa organ tubuh bayi itu belum semuanya siap untuk menerima asupan bahan makanan tertentu pada umur tertentu.
Contohnya: madu baru boleh diberikan setelah minimal umur setahun karena ada substansi tertentu didalamnya yang organ bayi belum bisa mengatasinya. Asupan garam juga belum disarankan dibawah satu tahun dan cuma perlu ditingkatkan pelan-pelan sesudah itu, karena ginjal bayi masih lemah, nggak boleh dibebani terlalu banyak. Kita juga ngga mau anak kecanduan gula terlalu dini, karena itu tidak ingin memberi makanan dengan tambahan gula. Terutama karena kita juga ingin menjaga kesehatan giginya.
Salah satu produk yang bagus untuk menjaga kesehatan pencernaan adalah yoghurt, dan kebetulan anak saya suka sekali yoghurt, plain tentunya. Terutama untuk mengatasi masalah perut di Asia, saya ingin memberi si kecil Yoghurt setiap hari. Tapi tahu nggak, di Indonesia itu ternyata susah sekali nyari produk jadi yang alami, yang nggak ditambahi gula dan perasa macam-macam.
Heran deh, produk untuk balita pun ada gulanya…gila kan? Saya sempat seneng ketika di supermarket nemu yoghurt yang pake label “asli eropa” dan “plain”, bukannya karena saya sok “nggaya”, tapi karena saya pikir itu yoghurt beneran natural, ngga pake tambahan apa-apa gitu…Eeeeh, ternyata saya salah besar. “Plain” dan “natural” disini ternyata maksudnya cuma nggak pakai perasa buah artifisial ataupun pewarna, tapi tetep aja ditambah gula. Dan ketika saya icipi rasanya “muaniiis”…
Minta ampuuun… kaya gitu masih bisa heran kenapa di Indonesia begitu banyak orang yang udah punya masalah gigi dari kecil, dan kenapa pula begitu banyak orang Indonesia yang udah bermasalah dengan diabetes padahal masih muda dan ngga selalu punya keturunan diabetes itu lho.
Terang ajalah kalau dari kecil udah kebiasaan dapat asupan gula begitu banyak. Akhirnya tempo hari saya cuma kasih anak saya susu full cream selain ASI, ketika saya berada di kota kecil dimana nggak bisa menemukan supermarket besar yang menjual produk impor beneran ataupun produk lokal tapi yang organik sehingga bener-bener alami tanpa campuran apapun.
Ngomong-ngomong, ketika di Thailand saya juga menghadapi problem yang sama dalam mencari yoghurt, cuma setidaknya… kadar gulanya prosentasinya masih jauh lebih kecil daripada produk Indonesia. Dan berhubung saya berada dilokasi wisata yang populer bagi turis asing, setidaknya masih nggak terlalu sulit menemukan toko yang menjual produk natural yang biasa dicari keluarga Eropa yang bepergian dengan balita.
Kebiasaan yang terbentuk dari kecil itu susah menghilangkannya, jadi nantinya sampai dewasa sukanya makan yang manis-manis, padahal dari konsumsi nasi yang begitu banyak, manusia di Indonesia itu asupan gula hariannya udah cukup besar.
Nah… saya nggak mau anak saya juga punya kebiasaan semacam itu, karena itu tolong hargailah keinginan saya (dan ibu-ibu lain yang berfikiran sama) untuk tidak asal ngasih anak saya makanan tanpa minta persetujuan saya dahulu.
Bukannya sama sekali nggak boleh menerima pemberian orang yang bermaksud baik ya, tapi saya ingin tahu persis apa yang masuk ke mulut anak saya dan berapa banyak yang sekiranya masih bisa saya tolerir.
4. Terakhir dan tak kalah penting: ini adalah soal “respek”.
Ini menyangkut anak orang lain, jadi sudah selayaknya kalau kita menghormati wilayah privat orang lain. Seperti apa dan bagaimana seseorang membesarkan anaknya, termasuk dalam hal memberi makanan, apa yang boleh dan ngga boleh itu adalah hak prerogratif setiap keluarga. Orang lain tidak punya alasan untuk komplain, titik.
Satu-satunya alasan yang bisa dijustifikasi bagi orang luar untuk ikut campur dalam urusan keluarga orang adalah jika terjadi kasus “pelecehan/penelantaran/penganiayaan/kekerasan”, selain itu TIDAK ADA lagi.
Untungnyaa… keluarga saya biarpun orang kampung ternyata masih konsisten dengan prinsipnya dari dulu yang mana selalu mencoba menghormati kehendak orang lain meskipun itu anggota keluarganya yang jauh lebih muda. Mereka nanya dan memang protes pada awalnya, tapi bersedia menerima. Saya sangat mensyukuri itu.
Dan faktanya, saya nggak overprotektif pada anak saya kok selama disana. Bisa dilihat di foto-foto dan video yang pernah kami upload selama di Indonesia… saya bahkan membiarkan si kecil berjalan dengan telanjang kaki di lantai tanah, main disawah, mainan dengan ternak dan juga sesekali makan kerupuk aja saya ijinkan kok.
Saya cuma nggak ingin sikecil mengkonsumsi sesuatu diluar sepengetahuan saya itu apa dan seberapa banyak.
Untuk sementara cukup ini dulu bahasannya, karena sekedar ngomongin satu tema pun udah segini panjang hehehe.
Sampai jumpa pada tulisan dengan tema berikutnya dan terimakasih banyak sebelumnya atas upvote-nya.
Salam @kobold-djawa
Aku setuju banget soal ini, di Irlandia ada satu kasus yang anaknya meninggal gara-gara orangtuanya lupa bawa pennya. Terus apotek gak mau ngasih kalau gak ada prescribed. Telat penanganan, berakhir nyawa melayang 😦
LikeLiked by 1 person
Duh… Ngga kebayang sedihnya. Ya, kalau dah kejadian kayak gini nau nangis darah dan punya duit milyaran juga nggak nolong…
LikeLike