Monthly Archives: May 2019

Beberapa poin penting yang perlu diperhatikan sebelum menikahi WNA

Standard


(German audience could find the German version here!)

 

Halo sobat Steemians, kali ini saya ingin kembali menulis tentang topik yang agak berat.
img_pitu_20190505_001002
Beberapa waktu lalu saya kembali mendapat E-Mail yang isinya meminta bantuan info menyangkut permasalahan diseputar keluarga campuran.
Sampai kurleb 3,5 tahun lalu saya aktif ngadmin di grup kawin campur KKC, dan selama ngadmin itu meninggalkan cukup banyak artikel berisi rangkuman dokumen, issue birokrasi dan kultural.

Mungkin karena itu sampai saat ini tak jarang masih ada saja orang yang menemukan saya dan berusaha menghubungi untuk minta bantuan walaupun sebenernya saya mengundurkan diri udah cukup lama.

Kali ini saya tidak akan membahas masing-masing isu secara mendetail, melainkan hanya akan mendaftar beberapa poin yang menurut saya paling esensial bagi calon (atau bahkan yang sudah menjadi) pelaku pernikahan antar negara.

Di Indonesia orang banyak yang mengira bahwa menikahi WNA itu selalu berarti „keberuntungan“ dan „kenyamanan hidup“ ==>> kekayaan. Selama ini yang dilihat kan memang cuma glamornya para ekspat di kota besar dan juga para turis yang memang siap datang kesini untuk buang duit rekreasi ngilangin stress. Karena itulah memang benar bahwa ngga sedikit jumlah wanita yang menikahi WNA dengan diam-diam menyimpan harapan yang menyesatkan.

Sebaliknya ngga sedikit pula orang barat dan penduduk negara maju lainnya yang berprasangkan: bahwa wanita Asia menikahi warga negara mereka cuma demi uang dan ijin tinggal / paspor baru dari negara mereka yang „top“.
Seolah-olah semua wanita Asia yang nikah sama WNA itu pasti ngga berpendidikan dan miskin. Saya sendiri memang betul gadis desa dan datang dari keluarga miskin, tapi bisa dikatakan temen-teman saya pelaku kapur itu kebanyakan berpendidikan tinggi dan datang minimal dari keluarga menengah, bahkan banyak pula yang cukup kaya dan terpandang keluarganya.
Banyak pula diantaranya yang karirnya dulu bagus banget dan disini keahliannya disimpan „digudang“ karena mereka lebih memilih menempatkan keluarganya dan anak-anak sebagai prioritas (diluar dari sedikitnya peluang kerja karena efek lokasi domisili ataupun adanya diskriminasi).

Well… dear friends, tak semuanya semanis madu dan seindah bunga ditaman…
Setiap pelaku perkawinan campuran (sebut saja: „kapur“) itu sudah menjalani banyak cobaan. Airmata dan mimpi buruk semuanya pernah ngalamin…
Mau itu miskin ataupun yang kaya, semuanya sampai pada titik tertentu telah mengorbankan hal yang sangat berarti dalam hidup mereka demi pasangannya.
Terlepas dari karir, objek kesukaan, lingkungan tempat tumbuh serta sahabat tercinta… yang paling pahit itu adalah kenyataan… bahwa kita nggak selalu bisa langsung pulkam untuk menyampaikan salam terakhir bagi orang terkasih kita sebelum berpulang menghadap ilahi.

Contohnya aja saya dulu juga ngga bisa pulang tepat waktu untuk bisa melepas kepergian nenek tercinta. Padahal saya ini cucu pertamanya sehingga selama ini selalu memiliki posisi istimewa dihati alm. Nenek.
Beberapa waktu lalu ada juga dua temen yang kehilangan papanya tanpa sempat berpamitan untuk terakhir kali.
Sangat sedih juga ketika hati ingin sekali bisa berbakti merawat ortu, tapi tempat tinggal terpisah samudera.
Ketika saya lahiran dulu, mana pake C-section pula… betapa saya bakal seneng banget, andai ibu saya bisa datang dan nemenin disini.
Banyak mungkin orang barat yang tak pernah membayangkan, betapa pentingnya arti keluarga bagi orang Asia.
Karena prasangka2 konyol dari dua sisi macam itulah saya jadi ingin mulai hari ini untuk kembali menulis artikel yang relevan dengan topik keluarga campuran.

Contohnya saja hari ini saya akan mendaftar beberapa permasalahan bidang hukum dan kompleksnya birokrasi, yang mungkin akan menarik khususnya bagi mereka yang berfikir untuk menikahi orang asing.

Hal-hal yang menurut saya paling esensial bagi pelaku kapur untuk melakukan „self-informed“ lebih jauh adalah berikut ini:

  1. WNI yang menikahi WNA, takbisa lagi membeli properti berstatus SHM tanpa memiliki perjanjian pranikah dengan pisah harta.Note: dulu pada dasarnya cuma perjanjian „PRA“-nikah yang berlaku di Indonesia, tapi beberapa waktu lalu ada preseden kasus dimana seorang pelaku kapur diijinkan membuat perjanjian pemisahan harta setelah pernikahan. Seperti apa detail kondisi yang harus terpenuhi, silahkan berkonsultasi dengan pengacara sendiri.Konsultasi dengan ahlinya toh pada dasarnya memang penting bagi siapapun yang berpikir untuk membuat perjanjian semacam itu baik sebelum atau sesudah menikah, karena perjanjian ini tidak selalu merupakan solusi yang terbaik untuk setiap pasangan.
    Situasi dan kondisi setiap pasangan tidak sama, jadi tidak selalu kisah orang lain bisa jadi pedoman.
    Jangan pernah sekali-kali membuat keputusan yang bisa berkonsekuensi serius dengan terburu-buru.
    Selain itu masih ada lagi pertanyaan, dimanakah perjanjian sebaiknya dibuat: di Indonesia, dinegara kedua ataukah harus dua-duanya jika ingin bisa legal di kedua negara?

     

  2. Setiap pernikahan yang dilangsungkan di LN, wajib dilaporkan ke KBRI setempat, minta surat keterangan untuk kemudian dicatatkan di Capil di Indonesia secepat mungkin.Jika tidak dilakukan tentu ada konsekuensinya (misalnya aja: nggak bisa bikin KITAS kalau suatu saat mau mudik selamanya).
    Tapi jika sikon dibalik, belum tentu pemerintah negara lain memiliki regulasi yang sama. Banyak negara yang menerima surat nikah terbitan negara lain tanpa syarat macam-macam. Visa bisa diterbitkan cukup dengan akta nikah yg ada biarpun penerbit akta adalah negara lain.

     

  3. Nama keluarga: penting ataukah cuma preferensi personal, opsional ataukah wajib?
    Mengenai nama belakang ini aja saya ada kisah yang sangat menggelikan jika saya sekarang mengenangnya kembali… Tentu saja saat masalah itu terjadi saya ngga bisa ketawa, rasanya pengen jedukin kepala ke tembok lha iya…
    Mungkin suatu saat saya cerita lagi deh tentang ini.
     
  4. Cukup pake affidavit ataukah bikin dua paspor?
    IMG_PITU_20190505_001320
    Dalam hal ini perlu diingat bahwa tidak semua negara mengijinkan kepemilikan dua kewarganegaraan bagi anak campuran. Menurut UU di Indonesia sendiri, dalam hal ini kewarganegaraan sang ayah diposisi prioritas.
    Note: dulu otomatis anak akan ikut ayah dulu, sekarang karena ibu WNI jg bisa mewariskan kewarganegaraannya pada anak, maka jika negara sang ayah tidak mengijinkan DK, sang ibu sebaiknya sesegera mungkin menyatakan penolakan resmi warisan status kewarganegaraan ayah bagi anak, jika memang ingin memilih jadi WNI atau juga sebaliknya… jika lebih suka jd WNA.
    Jangan sampe paspor ditarik sepihak oleh otoritas negara yg memergoki dobel paspor ilegal, kalau yg ditarik kebetulan yang bukan yg prioritas kedua kan bisa nyesel hehe.
     
  5. Bagaimana jika terjadi perceraian??
    Nomor telepon dan alamat darurat dari institusi yang memberi bantuan pada korban KDRT sebisa mungkin selalu ada dalam jangkauan. Sampai sekarang korbannya nggak sedikit lho.
    ==> bagaimana penentuan jurisdiksi untuk perceraian lintas negara?
    Hal ini bisa jadi penting karena tidak semua negara menetapkan batas waktu minimal perpisahan sebelum perceraian bisa diputuskan. Di Jerman contohnya: kalau kedua pihak sepakat maka 1 tahun pisah udah cukup untuk bercerai, tapi jika yang seorang menolak bercerai, maka jangka waktu perpisahan minimal harus 3 tahun, jika pembuktian tentang perpisahan itu ingin di skip.==>Hak asuh anak.
    Banyak WNI yang nggak tahu bahwa di Saudi contohnya, ibu cuma bisa mendapat hak asuh anak… (itupun kalau sbg orang asing juga bs beruntung mendapatkannya) maksimal secara umum cuma sampai usia 7 tahun.
    Setelah itu anak laki2 masih ada kemungkinan milih, tapi anak perempuan otomatis akan menjadi hak ayahnya, karena hukum Islam tidak memberi wanita hak pilih, wanita sampe dewasa sekalipun selalu harus ada dibawah kuasa laki-laki muhrimnya. Kalau ngga berstatus menikah ya tunduk pada walinya, kalau sudah menikah ya suaminya.
    Di Iran bahkan kewarganegaraan istri otomatis ikut suami… tapi hal ini juga banyak wanita Indonesia nggak tahu.

     

    ==>>Poin berikut ini cuma relevan bagi pasangan WN Jerman.
    Disini seandainya proses perceraian tidak jadi dilanjutkan, akan tetapi pisah ranjang/rumahnya sudah sempat dilaporkan pada pihak imigrasi Jerman, maka batas waktu 3 tahun sebelum istri/suami WNJ berhak mengajukan permohonan ijin tinggal permanen ataupun kewarganegaraan Jerman akan kembali lagi pada posisi nol dan dihitung lagi dari tanggal ketika yang bersangkutan kembali rujuk.

  6. Jika pasangan meninggal…>> Dalam hal ini pembuatan testamen sangat disarankan, apalagi jika salah satu pihak memiliki anak dari hubungan terdahulu atau jika salah satu pihak tidak memiliki penghasilan sendiri.Untuk Jerman sendiri ada argumen tambahan, yaitu bahwa“surat penetapan ahli waris“ turunnya butuh waktu cukup lama dan biayanya cukup mahal.
    Perkumpulan orang di Jerman dulu pernah ngumpulin donasi untuk membantu wanita Indonesia yg suaminya tiba-tiba meninggal sementara dia nggak pernah kerja dan ngga punya rekening atas nama sendiri.Semua asset atas nama suami dan urusan pengelolaan RT dilakukan suami.
    Dia bener2 dimanjakan suaminya semasa hidup hingga seolah seperti layang-layang putus ketika ditinggal berpulang ke surga.

    Sampai „Erbschein“ turun, asset suami ngga bisa dipakai karena sisa harta yg bisa diwariskan setelah dipotong semua kewajiban dan ahli warisnya pun belum jelas.
    Jika memang tidak merasa membutuhkan testamen karena menikah dengan status sama2 single tanpa anak, maka jika si istri tidak punya penghasilan sendiri… mungkin perlu dipertimbangkan untuk setidaknya memiliki akses -entah pake „Generalvollmacht“ ataupun online password- untuk semua rekening, supaya jika terjadi kasus meninggal mendadak begini pasangannya bisa segera mentransfer isinya ke rekening sendiri secepat mungkin.
    Jadi kasus seperti cerita saya diatas tidak perlu terjadi.

    Sayangnya kebanyakan wanita Indonesia yang tidak bekerja diluar rumah tidak memiliki rekening sendiri. Ini ngga selalu berarti mereka ini bodoh atau gimana ya, banyak lho dari mereka yang berpendidikan tinggi juga…
    Hanya saja mereka kan tumbuh besar di masyarakat yang pegang pepatah: “ucapan adalah doa“ dan memikirkan hal-hal jelek dimasa depan itu „pamali“ kata orang Sunda atau „ora ilok“ orang Jawa bilang, tabu lah intinya karena kesannya kok kayak ngedoain supaya itu terjadi.
    Ada juga yang berargumen: “milik pasangan milikku juga begitupun sebaliknya, ngapain juga pake bikin rekening terpisah segala, jadi nggak praktis kalau butuh duit belanja pake harus minta suami.

    Well padahal nggak harus rumit juga lho, dan jg ngga selalu harus menghindari “joint account” sama sekali kok. Maksud saya itu yang penting ada “emergency account” atas nama sendiri yang hanya menjadi hak kita dan ngga bisa diganggu gugat oleh pihak ketiga.
    Soal pasangan, kan juga bisa aja kita kasih surat kuasa juga atau akses password ke rekening kita, simpel kan?

    Oke deh, untuk sementara ini aja dulu. Ini cuma yang menurut saya paling esensial, tentu saja masih ada isu lainnya. Jika pembaca ada isu tertentu yang ingin dibahas, silahkan berkomentar baik disini ataupun di blog saya yang kedua:
    http://www.steemit.com/@kobold-djawa

     

    Sampai Jumpa!