Tag Archives: gosip

Ibarat menjemur pakaian dalam kotor didepan rumah…

Standard

Kembali nyentil dikit ya prens… sekali-kali nulis tema sosial nih, udah banyak yang ngomongin pulitik 😀 .

Kali ini saya pengen ngebahas soal ibu-ibu yang suka curcol terbuka tentang rumah tangganya sendiri. Cuma catet ya: tolong dibedakan antara seseorang yang posting di grup medsos yang relevan secara “sachlich”, maksudnya obyektif menceritakan inti masalah sekedar sebanyak yang dibutuhkan untuk mendapatkan jawaban/solusi yang logis dan “feasible”, dengan seseorang yang pada dasarnya cuma butuh cheerleaders alias mencari simpati doang walaupun itu dengan harga yang harus dibayar mahal oleh keluarganya sendiri (yaitu rusaknya reputasi anggota keluarganya sendiri).

Seorang wanita yang RT-nya diambang kehancuran dan sedang mencari tahu prosedur perceraian berikut masalah-masalah yang menyertainya, seperti hak asuh anak atau layanan perlindungan dari KDRT misalnya, itu masih bisa dimaklumi jika bernarasi tentang masalahnya di forum yang memfasilitasi ini.
Katakanlah tujuannya ingin mencari informasi tahap awal secara gratis gitu. Bertanya secara obyektif itu nggak sama dengan “ranting publicly and yammer anytime” tanpa kontrol.
Tapi seorang wanita yang bercerita disetiap forum, di page pribadi dirinya atau temennya sendiri setiap kali BT dan berantem dengan suaminya, dan bercerita semua kejelekan dan kekurangan suaminya atau tentang betapa merananya dia dalam hubungan cintanya, semua ketidak puasannya akan sikap sang suami, dan itu bahkan nyaris disetiap kesempatan secara terbuka, di wall sosmed ya… bukan japri lho, jadi ngga cuma teman terdekat yang tahu akan tetapi “practically everyone”.
Ingat, sosmed itu tempat publik, biarpun di wall pribadi tetep bisa diakses siapa saja yang dalam daftar teman, dan bahkan bisa dishare lagi kemana-mana. Apalagi teman di sosmed itu biasanya ratusan, bahkan ada yang sampai ribuan segala.
Wanita yang begini ini membuat saya kadang ngerutin jidat. Dikepala saya lantas muncul beberapa pertanyaan ini:
“Kok bisa ya dia masih ngedumel kalau akhirnya menjadi bahan gosipan?! Bukannya dia sendiri yang justru memberikan bahan gosip pada semua orang?!”
“Sebenarnya apa sih yang ingin dia dapatkan dari semua itu? Dapat solusi tidak, menambah masalah lah iya…
“Sebenarnya dia masih ada rasa sayang dengan pasangannya atau nggak? Apalagi kalau udah ada anak ya… Kalaupun rasa cinta udah minim, apakah tak ada lagi sedikitpun respek tersisa buat sang ayah dari anaknya?
Ketika curcol macam itu, sudah pernah mikirin resiko adanya orang yang laporin curcolannya itu pada sang pasangan atau keluarga pasangannya nggak? Apakah emang sudah siap dengan resiko sang pasangan/keluarganya menjadi sakit hati hingga masalah yang awalnya mungkin bahkan cuma kesalahpahaman atau kekeraskepalaan saja akhirnya menjadi situasi yang tak tertolong lagi?
Apakah memang sudah tidak ingin menyelamatkan pernikahannya lagi?
Jika masih cinta, belum pengen bubar jalan… berpikirlah ratusan kali sebelum nyebar aib suami sendiri gitu lho.
Kalaupun memang udah ngga mau lagi melanjutkan hubungan dan kemarahan udah tak tertahan hingga jadi masa bodoh kalau reputasi pasangannya rusak…
Oke deh itu masih bisa dimengerti ya, namanya juga udah ngga ada lagi cinta, tapiii…
Tidak pernah juga kah terlintas dibenaknya, bahwa apapun yang dia lakukan selalu bisa dijadikan senjata melawan dia oleh sang pasangan dalam persidangan perebutan hak asuh misalnya?
Jangan salah lho, image yang tercipta adalah seseorang yang tidak “mature”, emosi tidak stabil, psikis terganggu, bukan contoh yang layak untuk mendidik anak… dan semacamnya, itu semua adalah contoh argumen kuat yang bisa dipakai untuk melawan dia lho.
Tidak ada yang namanya rumah tangga selalu mesra dan muluss-mulus saja, itu bull shit.
Namanya dua manusia hidup bersama memiliki konflik itu lumrah saja, tapi cara orang menghadapi konflik… setidaknya bagaimana bersikap dimuka publik itu sangat menunjukkan kualitas karakter seseorang.
Spoiling emotion uncontrollably will never help, it only create more damage in the end.
Lagipula, kok seneng amat sih menjadi objek belas kasihan orang? Kalau saya kok malu hati ya…
“Attitude” macam itu ibarat menjemur pakaian dalam kotor di depan rumah sendiri, kita sebagai pemilik baju kotor itu dan semua yang menjadi penghuni rumah itu semuanya akan ikut malu karena setiap orang lewat, baik itu kenal ataupun tidak semua bisa melihat baju dalam kita yang kotor dan bau itu.

Saya juga kadang pasang status tentang pasangan yang “terkesan” ngomel sih, tapi saya rasa masih bisa terlihat jelas kok bedanya, apakah “omelan” saya itu serius dan bisa merusak reputasi atau hanya setengah bercanda, sekedar ledekan tentang celetukan-celetukan atau aksi konyol si abang saja.
Ekspresi kekesalan yang ngga begitu berarti, yang kalaupun ketahuan orangnya juga ngga akan bikin perang baratayudha gitu lho. Yang begini sih lain cerita, karena yang baca juga ngga kasihan tapi justru mungkin jadi nyengir. Karena emang kadang bikin gemes itu para suami hehehe. Gemes biarpun kadang sampe pengen nyubit saking geregetannya, dengan beneran sakit hati yang bisa bikin nangis itu lain lho…
Aku kalau baca status orang yang kaya gini sih ngga bakal negatif mikirnya. Karena emang beda kok kesan yang tercipta itu.

Mungkin orang akan bilang, kok saya nyinyir amat… sosmed2 dia sendiri, yang diumbar aibnya itu suami-suami dia sendiri, itukan suka-suka dia toh?!
Well, yup betul…itu betul sekali, saya juga nulis ini bukannya mau ikut campur kok.
Urusan mereka sendiri juga ini, mau dapat susah atau nggak juga bukan masalahku hehehe.
Berhubung saya ngga suka status model begini juga toh gampang sekali kok solusinya, tinggal “unfollow” kan dijamin aman, daripada sakit mata dan merusak mood aja kan hehehe. Orang yang bawaannya umbar masalaaaah melulu itu auranya gelap, bikin orang jadi ikutan mellow aja LOL.

Ini memang cuma sekedar berbagi opini aja, siapa tahu ada pembaca yang mungkin sempat pernah baper dan nyaris khilaf karena jengkel pada si abang dan tadinya nggak terpikir sampai kesana. Siapa tahu tulisan saya ini terus jadi membuatnya jadi berfikir ulang… sebelum memilih memanjakan kemarahan dan sakit hati tanpa kendali.
Saya justru akan ikut senang, kalau setelah membaca tulisan saya ini,
pembaca yang mungkin diam-diam sedang ada masalah dalam rumah tangga akhirnya jadi bisa terhindarkan dari potensi “memperkeruh” suasana karena curcolan tak terkontrol disosmed hanya gara-gara emosi sesaat. Jadi tujuan saya nulis ini justru baik, bukan melulu untuk nyinyirin orang lho hehehe.
(Well, tapi kalau masih ada yang sensian juga ya apa mau dikata. I’m only responsible for what I said, not for what the others understand ^_^ ).
Padahal sesal kemudian nggak ada gunanya kan?
Jangan sampai kaya pepatah jawa: “Kriwikan dadi Grojogan”, awalnya cuma hal sepele akhirnya malah jadi gede :).
By the way… bukan maksud saya lantas kita harus munafik ya, belagak sok hepi sok mesra demi jaim lho. Kayak begini mah konyol juga namanya :-D.
Maksud saya intinya adalah:
“We just don’t need to spread our private issues to the world, to the people who are basically unrelated personally to us at all. Especially not without any rational and justifiable aim.”
Most people wouldn’t really have concern about you anyway. You’re already considered lucky if they just ignore it and merely giving a superficial consolation. The problem is, it’s even more likely that at least half of your audience would look at you with hidden disdain and talk behind your back despite their flowery words.
People tend to love scandals… That’s unfortunately the reality in this world, babe… 🙂
You’d only feed them with hot topic for gossipping.
People who would really care about you and take time to really seek solution with you normally are only those, whose contact details actually in your list anyway.
You can always contact them personally, right?
And remember well, friends with good and genuine intention to help you would speak to you honestly and straightforwardly, although their honesty sounds bitter to you.
On the other hand, those who only act like cheerleaders, are not the one useful to you.

See you next time 😉

 

 

 

 

Suamiku di add orang tanpa ijin: “Problem?!?”

Standard

Sering dengar keluhan klasik model gini? Bahwa ada perempuan indonesia yang dikenal di sebuah kelompok tiba-tiba kirim friend request pada suaminya tanpa ijin dulu?
(Khususnya dari wanita Indonesia yang berpasangan dengan WNA barangkali?)
Saya sering banget, terutama dulu ketika masih aktif mengasuh sebuah grup kawin campur, tapi sampai sekarang pun masih juga sering dengar walaupun sudah rada lama resign dari posisi admin.
Dan yang dijadikan kambing hitam biasanya selalu: grup, komunitas, atau organisasi yang mewadahi para pelaku hubungan antar bangsa. Katanya, adminnya terlalu lemah dan longgar lah, ngga mau kasih effort untuk menyaring anggotanya hingga ada bule-bule hunter yang bisa masuk dan mencari target buruan di”life circle” member lain.
Pertama, buat saya mencari kambing hitam itu adalah sesuatu yang konyol dan absurd “anyway. Mencari kambing hitam dimata saya adalah tipikal kebiasaan orang-orang yang tidak punya kapabilitas (atau mungkin memang pada dasarnya tidak mau) untuk menyelesaikan persoalannya sendiri secara dewasa dan logis. Mencari pihak yang bisa dituding kan emang hal yang paling gampang dilakukan kan ^_^ ?!
Tapi lebih konyol lagi jika yang dikambing hitamkan adalah “komunitas”-nya.
Grup didunia cyber itu juga ngga ada bedanya dengan kelompok masyarakat didunia nyata, bedanya cuma kita ngga saling ketemu muka… itu doang.
Ibaratnya di sebuah kelurahan atau kota, semua punya aturan dan normanya masing-masing. Seperti juga setiap grup punya ideologi, visi, misi dan normanya masing-masing dan semua itu dipilih ketika grup didirikan karena memiliki alasannya sendiri. Karena latar belakang dan tujuan berkumpulnya sekelompok individu yang membentuk grup tersebut pada awal berdirinya tidaklah sama dengan yang dimiliki kelompok individu lain. Ada komunitas yang memang dari awal ingin “eksklusif” bagi “kaum” tertentu saja, hingga butuh kriteria spesifik dalam menerima anggota, tapi juga ada organisasi yang memang visi aslinya memilih untuk terbuka atau semi terbuka dalam menerima anggota karena mereka memiliki latar belakang dan goal tersendiri yang ingin dicapai melalui pembentukan komunitas tersebut.
Karena itu setiap pendatang barulah yang harus menilai sendiri apakah dirinya cocok dan bisa menerima visi dan aturan dalam grup tersebut atau nggak. Kalau ngga bisa ya ngga usah gabung, kan nggak ada yang memaksa gabung toh?
Yang jelas, janganlah grupnya yang disalahin kalau dianya sendiri yang nggak hepi atau bertemu hal yang ngga disukai disana. Si anggota lah yang mesti belajar menyesuaikan diri dengan organisasi dan bukannya si organisasonya yang mesti berubah menuruti kemauan member (ecuali tentunya jika tujuan dasar organisasi itu sendiri memang berubah lho).
Cuma yang jelas perlu disadari bahwa grup/organisasi itu terdiri dari banyak orang, tidaklah mungkin untuk bisa menyenangkan dan memenuhi kehendak setiap anggota.

Bayangkanlah sebuah grup itu seperti sebuah kota. Ketika suatu saat kita memutuskan pindah ke kota X karena kita pikir itu kota yang asyik dan nyaman. Tiba-tiba disana ternyata ada wanita cantik (katakanlah seorang “janda muda”) yang tertarik dengan suami kita dan diam-diam mencoba “flirting”dengannya. Apakah masuk akal kalau kita lantas menyalahkan pak Bupati dan segala jajaran pegawai di Balaikota karena memberi kesempatan pada para “janda muda cantik” untuk tinggal di kota X tadi?
Emangnya pak Bupati harus memfilter setiap wanita yang masuk kategori “cantik” dan “sexy”dan mengusir mereka dari kota jika status mereka “single” apalagi “janda muda”? Apakah memang pak Bupati dan pegawainya harus menjamin bahwa cuma pasangan yang sudah menikah atau setidaknya “bertunangan” hanya supaya tidak ada acara saling menggoda sesama member dengan partner member yang lain begitu?
Dan andaikata pun itu benar dilaksanakan, di kota X cuma diisi oleh member yang sudah menikah atau bertunangan, apakah memang semua itu bisa menjamin bahwa para member itu pasti 100% setia dengan pasangannya masing-masing dan nggak akan mungkin melirik pasangan orang lain?
Emangnya pejabat pemerintah di kota terkait harus punya kemampuan menebak isi hati orang sehingga mereka selalu tahu “niat-niat tersembunyi membernya yang negatif”begitu?
Ataukah barangkali tugas pak Bupati dan pegawainya harus di perluas dengan kewajiban untuk rajin memonitor aktivitas warganya setiap saat supaya kalau ada yang terindikasi menggoda pasangan orang langsung ketahuan dan bisa diusir?
Well… really, sometimes I just can’t help shaking my head and rubbing my temple everytime I hear such remarks. You know, when some women blaming a specific group, because she found out that a particular person she knew while interacting in that group sent a friend request to their husband and tried to chat or flirt. As if it is the job of the group administrator to provide a security measure as well a sterile environment to make sure that the love relationship of the group members are well maintained 😀 😀 .

Kedua, pernikahan tidaklah seharusnya menjadi seperti penjara, cincin kawin tak seharusnya menjadi seperti borgol. Saya ngga bisa bayangkan kalau suami saya mengontrol dengan siapa saya boleh berteman. Teman baru itu bisa ditemukan dimana saja dan melalui jalan apa saja termasuk melalui “mutual friends”, didunia nyata ataupun virtual, laki-laki ataupun perempuan emangnya ada bedanya?
Saya nerima “friend request” di sosmed juga ngga cuma dari cewek lho dan saya merasa cukup dewasa untuk membuat kriteria sendiri dengan orang seperti apa saya mau berteman. Saya juga tidak merasa perlu untuk selalu minta pendapat suami saya setiap kali saya dapat undangan pertemanan dari siapapun dan melalui media manapun (termasuk jika mereka datang dari “friend circle” suami saya), lantas mengapa pula saya harus mengharapkan bahwa suami saya mesti melapor sama saya kalau dapat undangan pertemanan dari lingkungan pergaulan saya? If he told me that’s fine. But if he doesn’t, I wouldn’t presume that it would be a potential problem either.
There is just not enough reason for that. Saya manusia normal bakal nyadar juga kalau di goda cowok via japri di sosmed, but so what gitu loh. Selama saya memperlakukannya sebagai cuma angin lalu, saya tak melihat adanya masalah sama sekali.
Bukannya mau nyombong tapi hal macam gini saya justru lebih sering dapat daripada suami, karena suamiku ngga aktif di medsos sementara aku aktif dan suka pasang foto. Udah gitu aku ngga pernah pajang foto bareng suami (suami ngga suka fotonya nyebar di web), pergi keluar rumah hang out juga seringnya sorangan, karena suamiku ngga suka pergi-pergi untuk hang out. Kami berdua ngga suka pake cincin kawin sehari-hari karena emang ngga biasa pake perhiasan jadi orang yang ngga kenal baik bisa salah persepsi dengan status pribadi kami berdua.
Tapi saya juga ngga pernah khawatir suami akan gondok kalau tiba-tiba nggak sengaja melihat pesan-pesan menggoda macam itu di gadget saya. Kenapa? Karena saya tahu saya ngga kasih respon yang pantas untuk dicurigai, jadi tak ada alasan untuk cemburu ataupun khawatir seberapapun seringnya pesan-pesan macam itu datang.
Dan hal yang sama berlaku pula sebaliknya. Selama suami kita ngga merespon, lantas apalah artinya deretan pesan menggoda dari kanan kiri, baik itu berasal dari lingkungan yang saya kenal ataupun dari kenalan dia sendiri diluar sepengetahuan saya.
Saya sendiri tidak suka jika dalam memilih teman saya sendiri lantas dikontrol oleh suami, maka mengapa pula saya ingin mengontrol bagaimana suami saya memilih teman-teman barunya? When we decided to make a life commitment with someone special, then we’re just bound to know…to realise, which boundaries we should keep in order to nurture that relationship well. There is definitely no need to control, because when the heart doesn’t belong to us anymore…there is no control and rule could do anything about it.

Saya bicara begini bukannya mau sok PD dan sok yakin bahwa cinta suami saya dijamin tidak akan mungkin berubah sampai mati dan bahwa dia sudah pasti nggak akan pernah mungkin tergoda.
Karena tidak ada satu manusiapun (sehati-hati apapun dia) yang bisa memprediksi masa depan hingga bisa mengambil tindakan pengamanan yang “optimally effective” sedini mungkin untuk mencegah pecahnya pernikahan. My husband could be very loving today, but there is always a possibility that it may change… as every person is dinamic, life is dinamic…
It’s not only him could change, everybody may change including my self. And it is just normal that not every change is a positive development which leads into a happy result.
Tapi satu hal yang saya pasti betul adalah, saya tidak akan mau menghabiskan hari-hari saya dalam hidup yang singkat ini bersama orang yang tidak bisa saya percaya sepenuhnya. Jika saya masih harus selalu merasa terancam dengan adanya “potensi” godaan dari wanita lain setiap kali saya masuk dalam “friend circle” tertentu baik itu didunia nyata ataupun virtual, maka artinya hubungan itu sendiri sudah layak untuk dipertanyakan perspektif masa depannya.
Dimata saya itu konyol jika saya harus selalu merasa perlu untuk mengontrol E-Mail, SMS, Phone record suami hanya supaya saya merasa yakin nggak ada “sosok-sosok” mencurigakan yang mencoba mendekati suami saya. Bukan berarti dia tidak akan mengijinkan saya baca pesannya atau pegang gadget-nya jika saya minta ya.
But it’s just that I don’t see any necessity to do so. If there is anything he encountered that could be my concern as well, I’d just believe that he would definitely tell me.
But if he purposely hide anything from me, then it means that there has already been something wrong going on in our relationship anyway.
Apalagi sebaliknya dia sendiri juga ngga pernah melakukan itu pada saya. Ngangkat HP-ku aja dia ogah kecuali aku sedang mandi dan nyuruh dia jawab misalnya, seringnya dia cuma ambilin itu HP dan kasih ke aku untuk angkat sendiri kalau aku lagi ada di ruangan lain rumah kami.
Lagian dia yang digoda cewek duluan ataupun sebaliknya dia yang menggoda cewek duluan apa bedanya sih? Endingnya toh sama aja, kepercayaan sudah dilanggar dan kesetiaan sudah buyar jika hal semacam itu sampai terjadi. However, bertepuk butuh 2 tangan… jadi konyol banget kalau cuma nyalahin pihak cewek aja. How could we expect to have equal treatment despite our gender, if we as woman always put another woman in disadvantage position as well when something unpleasant happen whether to us or to our acquaintance and ignoring the role of the male participant.

Yeah… itu semua tentu perspektif saya pribadi ya mengenai kualitas hubungan dan apa yang penting dalam sebuah hubungan. Saya cuma ingin memberi perspektif lain untuk dipikirkan. But feel free to be different if you like and happy new year 😀