Jadi bukannya lagi untuk membuat pikiran dan perspektif kita menjadi luas? <<<
“Adakah pengasuh, pembimbing dan pendidik pribadi harian yang lebih baik lagi buat anak kita, selain ibu kandungnya sendiri yang punya kompetensi mumpuni dan berpendidikan tinggi? Lebih baik mana dengan membiarkan tumbuh kembang mereka dibawah asuhan utama dari orang bayaran yang adakalanya bahkan ijasah SMP aja belum tentu punya, apalagi hanya untuk ditukar dengan pekerjaan yang hasilnya setelah dipotong biaya bayar pengasuh belum tentu sebanding nilainya dengan pengorbanan yang diberikan ( seperti: waktu, energi, serta masa2 berharga bersama anak yang takkan terulang)?”
Not at all…
Saya cuma ingin memberikan perspektif lain bagi para wanita yang tak jarang merasa terintimidasi oleh ucapan-ucapan nyinyir macam diatas dari lingkungan sekitarnya.
Kata siapa ambisi cuma boleh dimonopoli oleh laki-laki coba?
Dan bukankah tanpa adanya wanita pintar yang punya ambisi, kita tidak akan punya tokoh-tokoh macam Angela Merkel, Indira Gandhi, Sri Mulyani, Bu Menteri Susi, Bu Menteri Retno dst?!
Hanya saja, sampai pada titik tertentu, menurut saya pribadi kadangkala memang perlu lagi kita tanya pada diri sendiri dalam hal ini, apakah “membentuk keluarga dan memiliki anak” memang adalah pilihan yang tepat untuk hidupnya.
Bukankah kalau memang mengaku dirinya wanita independen yang mumpuni, seharusnya kita juga cukup mandiri dan berani untuk tidak membiarkan orang lain … meskipun itu keluarga sendiri … memaksakan pilihan, target, ataupun value tertentu pada kita, seperti misalnya dalam urusan ‘jodoh dan anak’, jika itu membuat hidup kita sendiri bukannya bahagia dan “content”, tapi justru malah cenderung menjadi ‘terbebani’?!?
Sementara disaat yang sama juga menyeret individu lain: yaitu *sang partner* dan bahkan *anak-anak* yang pada dasarnya nggak pernah meminta untuk dilahirkan, jika akhirnya hanya harus menerima nasib untuk di “nomor sekian“-kan atau yang lebih parah lagi: “ditelantarkan”?!
Bagi yang bisa menjaga cukup keseimbangan, tentu lain lagi persoalannya ya …
You, as a highly educated and knowledgeable mother, are definitely the best teacher, carer and baby sitter your children could ever get.
So there is nothing to regret at all for spending so much time and effort in studying.
Ilmu pengetahuan itu ngga ada masa kedaluarsa, ngga akan basi, dan akan selalu ada manfaatnya, setidaknya jika kita memang benar-benar memahami apa intisari dari ilmu itu sendiri.
Emangnya kita ini siapa sih, sok tau amat dengan apa yang bikin orang lain bahagia ataupun susah?
Kalau kondisi finansial yang bersangkutan memang mengijinkan untuk bisa hidup layak dengan satu pencari nafkah aja, sementara yang bertugas nyari duit aja juga nggak komplen, lantas apa pula urusannya dengan orang lain?
Ngga semua wanita yang menjadi “stay home Mom” itu merasa ngga berguna cuma karena nggak menghasilkan duit lho, apalagi merasa ditekan oleh pasangannya.
Lagipula, kata siapa pekerjaan itu harus selalu berarti tiap hari ngantor? Itu pikiran kuno. Jaman digital begini, yang namanya “home office” itu bukan hal yang luar biasa lho.
Dan kata siapa pula bahwa “sukses dan performance” itu cuma bisa dinilai dari banyaknya uang ataupun piagam/piala yang dikoleksi?
Mengutip kata suami saya: “Dein Wert hat nichts mit Geld bzw. Arbeit zu tun”.
(Nilai dirimu tidak ada hubungannya dengan duit ataupun pekerjaan).
Karena itu, tidak ada alasan bagi siapapun untuk memiliki “self-esteem” yang rendah hanya karena ngga menyetor duit ke kas rumah tangga, jika memang keadaan finansial tidak memaksa kita untuk bekerja.
Orang hidup ngga harus mendongak terus kan ya?!
Kalau hobinya mendongak ketinggian melulu sih, mau sampe kiamat juga pasti akan selalu ada yang kurang lah hehehe. Jadi, sepanjang kondisi finansial sudah bisa dibilang “cukup”, mestinya status ‘bekerja’ ataupun ‘tidak bekerja’ tidak perlu menjadi isu, apalagi sampai dibiarkan menjadi beban pikiran, seramai dan semeriah apapun omongan orang disekeliling kita.
Aktivitas dan kesibukan untuk mengisi waktu luang (yang berlebihan) itu kan nggak selalu harus diwujudkan dengan karir yang membawa duit.
“Jika haus akan ilmu, belajar sajalah terus sebanyak yang diinginkan, baik itu di bangku sekolah ataupun diluar lingkungan akademis.
Ilmu bisa diperoleh dari mana saja dan belajar itu nggak mengenal umur, status ataupun gender.
Tak perlu pula memusingkan apakah nantinya ilmu yang didapat itu semuanya bakal menghasilkan duit atau nggak, karena orang yang benar-benar berilmu (bukan sekedar pengoleksi ijasah lho), itu tidak akan pernah merugi.”