Problematika membuat dan meng-upload foto/video orang lain di Jerman

Standard

Halo semua, saya kembali lagi.
Kali ini saya ingin membahas isu yang biasanya terlintas dalam benak orang Indonesia pun tidak, apalagi dipikirkan secara mendalam, yaitu soal kebiasaan “membuat foto/video orang lain dan mengunggahnya di media sosial” tanpa seijin yang punya muka, atau ijin orang tuanya jika itu foto/video anak-anak.

unbenannt

Kebiasaan ini umum di kalangan orang Indonesia karena masyarakat kita suka melakukan aktifitas beramai-ramai kemudian mendokumentasikannya (atau istilah kerennya jaman sekarang yang drastis adalah “rata-rata suka narsis… hobi selfie daaan suka memamerkannya pada banyak orang hehehe.
Suami saya bilang: “Indonesien ist eine Schau-Gesellschaft”, dan saya jujur aja cukup setuju dengan istilah itu :-D.
Don’t get me wrong. Saya tidak bermaksud untuk selalu menafsirkannya dari sisi negatif ya. Selama itu memang fotonya sendiri, dan ngga merugikan ataupun mempermalukan orang lain sih. Saya sendiri juga suka selfie  bin narsis dan suka mamerin hasilnya di sosmed juga, tapi ya sebatas foto diri saya sendiri doang, informasi lain yang lebih pribadi tentang diri saya serta foto suami, keluarganya dan teman-teman khususnya yang non Indonesia itu tidak termasuk hehehehe.
“Privatdaten-Schutz ” di masyarakat kita sejauh ini tidak pernah dianggap sebagai sebuah tema yang penting. Nggak banyak yang benar-benar “concern” foto dan data pribadinya atau anaknya menjadi konsumsi orang-orang tak dikenal (sementara statusnya bukan publik figur), sampai semuanya terlambat…
yaitu ketika hal yang buruk, merugikan dan mungkin bahkan fatal benar-benar terjadi.

Hanya saja, kebiasaan ini sebaiknya dibuang jauh-jauh jika kemudian pindah dan tinggal di Jerman.

Tempo hari ada seorang teman yang nulis status bahwa dia dikira ngga punya teman “bule” karena ngga pernah majang foto sama mereka. Dia nulis: “Sopan santunnya di Indonesia sama di Jerman itu lain dong. Lagian emangnya teman harus selalu dipamerin…”
Saya mesem membacanya, karena saya sendiri juga sama kaya dia.
Sejauh ini belum pernah sih ada yang nyeletuk begitu, tapi membaca ini saya baru terpikir…, mungkin banyak juga orang yang mikir kaya gitu tentang saya. Boro-boro foto orang lain…foto suami sendiri aja nyaris ngga pernah dipajang.
Jangan-jangan ada juga yang “ngrasani”, saya “memalsukan status kawin”, “mungkin suaminya jelek, tua”, “mungkin ngga harmonis”, atau entah apa lagi. Kadangkala saya terpana, orang Indonesia sangat hebat dalam merangkai fantasi… kreatif, sayang sekali kreatifitas itu lebih sering dibuang untuk hal yang ngga berguna ^_^.
However… I actually never give a damn with what other think or gossip about me :-D.
Hanya saja saya jadi tertarik untuk menulis tentang ini, justru karena niat baik.
It’s not about me or an effort to justify my choice not to easily upload foto of others on my social media.
Saya hanya ingin menghindarkan orang yang menganggap dan juga saya anggap teman dari masalah karena ketidaktahuan dan ketidakpedulian.

Status teman itu mengingatkan saya akan video Youtube dari seorang mahasiswa dari Indonesia di Jerman tentang pengalaman pertamanya kuliah di Jerman.
Karena kesulitan memahami penjelasan Professor di kelas, maka dia diam-diam merekam seluruh isi kuliah yang dia kunjungi untuk didengarkan lagi dirumah. Dalam video dia menjelaskan bahwa tindakannya jangan ditiru karena sebenarnya nggak boleh, tapi tanpa penjelasan lebih jauh. Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, ada banyak komentar yang bertanya mengapa nggak boleh, kan kamera milik sendiri. Disini akan saya ulang lagi jawaban saya atas pertanyaan tersebut.

Di Jerman kita ngga boleh sembarangan mengambil foto orang tanpa ijin, apalagi jika kemudian meng-upload-nya begitu saja. Saya ingat ada teman pernah cerita sambil marah karena diminta oleh temannya yang lain menghapus fotonya yand dia upload tanpa ijin di akun sosmednya. Dia ngga pedulikan permintaan itu karena merasa itu toh foto bikinan dia, pake kamera dia, hak patennya yang punya dia dan diupload di akun sosmed dia sendiri. Apa urusannya tuh orang nyuruh-nyuruh hapus.
Well, saya ngga komen banyak waktu itu karena karakternya agak sulit dan sulit menerima kritik. Sekali berusaha kasih pendapat dan dibantah ya udahlah. Untungnya tapi pihak ketiganya kayanya ngga menuntut lebih jauh.

Tapi mengenai tema siapa yang lebih ber-“HAK” atas sebuah “Foto Seseorang” akan saya bahas disini karena ini penting dan banyak yang tidak tahu atau mungkin bahkan tidak mau tahu.
* Tindakan mahasiswa tadi salah dan sangat beresiko, si mbaknya sendiri tahu dan akhirnya juga mengklarifikasi di komentar dalam video bahwa dia salah. Dia bisa mendapat sanksi seandainya ketahuan dan sang Professor cukup “kejam”.
Sekedar dikeluarkan dari kelas saat itu hanyalah masalah sepele. Mungkin ngga sampai dituntut sih, asal foto/video dihapus tuntas tanpa kemungkinan bisa di reproduksi lagi. Masa iya akan setega itu sampai menuntut, gimanapun student-nya sendiri gitu, student asing masih baru pula.. Jadi masih bisa ngeles ngga tahu peraturan. Tapi sanksi masih  tetap mungkin diberikan lho.
Saya sendiri pernah melihatnya langsung ketika seorang mahasiswa di keluarkan dari kelas karena mengambil foto papan tulis ketika sang dosen masih didepan kelas tanpa nanya dulu dan saat ditegur masih pake mencoba mbantah. Apakah ada sanksi lebih lanjut saya kurang tahu karena ngga kenal sama si anak jadi ngga bisa nanya.

* Secara kasar memang benar bahwa hasil karya intelektual, seperti fotografi ataupun seni, copy right-nya adalah milik si pembuat karya. Hanya saja disini perlu diperhatikan bahwa dalam kaitannya dengan FOTO Manusia, maka kita kembali terbentur pada UU yang lain yang posisinya lebih prioritas, yaitu :”Persönlichkeitsrecht”, dalam hal ini adalah “allgemeine Persönlichkeitsrecht”.

Si Pemilik Wajah memiliki HAK penuh atas hasil karya yang memakai wajah dan tubuhnya. UU ini bertujuan untuk melindungi harga diri dan martabat yang bersangkutan dari kemungkinan dipermalukan ataupun hal-hal lain yang tidak disukai oleh yang bersangkutan dilakukan dengan foto/video berisi dirinya.
Misalnya aja, tidak ada orang yang suka foto ketika dirinya sedang teler diunggah ke Internet, walaupun itu maksudnya bercanda. Jika yang bersangkutan tersinggung dia berhak menuntut si pembuat foto dan pengunggah. Jangan bilang bahwa itu reaksi berlebihan ya… Kita ngga boleh lupa bahwa jaman sekarang perusahaan juga akan mengecek aktivitas dunia maya seseorang ketika menyeleksi calon pegawai. Kasus pemecatan karena ketololan yg dilakukan di dunia Maya yang menodai reputasi itu juga bukan hal yang jarang terjadi lho.

Di Jerman sang fotografer tidak berhak untuk mempublikasikan foto/video orang, meskipun itu hasil karyanya sendiri, jika tanpa seijin yang punya badan.
Pengecualian hanya bagi “public figure” (tapi tentunya juga cuma jika yang besangkutan sedang berada dalam event publik yang memungkinkan untuk diambil gambarnya oleh setiap hadirin yang tertarik), atau jika itu sebuah foto orang biasa yang tanpa sengaja terambil dalam sebuah event publik (demonstrasi, pemberian hadiah undian random dalam sebuah show, keikutsertaan/kehadiran dalam sebuah parade ataupun show-show lain nya. Yang jelas, foto/video  yang diambil dalam event/acara pribadi tidak termasuk dalam pengecualian), atau mungkin foto-foto bersejarah dimasa lampau.

Perlindungan “Persönlichkeitsrecht” ini baru hangus jika sang pemilik badan menerima semacam “IMBALAN” atas kesediaannya menjadi model, meskipun itu tidak harus selalu berupa uang. Dalam hal ini maka sang pemilik body sudah memindahtangankan “HAK” nya sepenuhnya kepada sang Fotografer sehingga si fotografer menjadi berhak untuk menggunakan foto itu sesuai kebutuhannya tanpa harus minta ijin ekstra lagi.
However, “harkat dan martabat” yang bersangkutan tetap berada dalam posisi prioritas, jadi foto yang berpotensi bisa merendahkan harga diri seseorang tetap tidak bisa begitu saja dipublikasikan tanpa ijin yang bersangkutan. Jadi apa yang biasanya dilakukan oleh orang yang berprofesi sebagai Paparazzi di Jerman adalah tergolong Ilegal, melanggar setidaknya § 201a StGB dan §33 KUG. Karena biasanya mereka mengambil Foto bahkan dengan masuk wilayah privat orang tanpa ijin dan membuat serta menjual Foto orang yang meskipun publik Figur tapi sedang  dalam acara pribadi, dan terutama karena Foto yang laku di jual mahal adalah Foto sensational yang berpotensi merusak reputasi orangnya, itu semua juga pada umumnya tanpa ijin.

Tentu saja sebaliknya sang pemilik badan juga TIDAK BERHAK memakai dan menyebarluaskan karya foto/video berisi dirinya tanpa seijin si pembuatnya, apalagi memakainya untuk kebutuhan komersil. It’s a big No No as well!
Dan tentunya setiap pelanggaran hukum ada sanksinya.

Karena itu, demi menghindari masalah jangan biasakan main ambil foto/video orang atau anak orang, apalagi sampai mengunggahnya di internet tanpa ijin. Konsekuensi paling ringan hanyalah kita mungkin bisa kehilangan teman. Apalagi jika udah diminta baik-baik untuk menghapus malah ngotot dengan alasan itu,

Foto bikinan gue sendiri, pake kamera gue juga, dan uplot-nya juga di medsos gue. Kalau situ ngga suka jangan liat nape…!!!

Hmmm… tapiiii, kalau ketemu orang yang strict dan sangat concern dengan “HAK”-dasar-nya sebagai seorang manusia di negeri ini, maka anda bisa dituntut di pengadilan beneran lho.

Mungkin akan ada yang berargumen: “Kalau memang teman baik masa sih cuma karena hal sepele gini aja marah sih?!”

Aha… Gimana kalau dibalik? Pertama, sepele tidaknya sesuatu hal, itu yang menentukan adalah pihak yang memiliki/berkepentingan/bertanggung jawab atas “sesuatu hal”  tersebut,  bukan orang lain. Kedua, jika anda mengaku sebagai teman baik, tidakkah seharusnya anda mengerti dan memiliki kesadaran untuk tahu bagaimana menghormati HAK privacy teman baik sendiri, bahkan tanpa perlu adanya ancaman hukum? Jika anda tidak mengerti apa yang disebut “respect” pada teman anda, maka yang tidak layak disebut sebagai teman baik adalah anda sendiri, bukannya sang teman. 

So, please think rather well and thoroughly…don’t be ignorant and stubborn, ok?!
Kamu mungkin terbiasa melakukannya dengan teman-teman sesama Indonesia, tapi itu karena kebanyakan orang Indonesia suka mamerin fotonya dan foto anaknya dimana-mana “anyway”, jadi kemungkinan besar memang ngga keberatan kalau fotonya dipajang orang. Tapi jangan salah… it might not necessarily always be the case.
I am an Indonesian for example (but especially my husband of course), would not like to see the picture of my children to be publicised in social medias without our consent.

I don’t like to imagine the possibility that the picture of my child being spreaded on the net, and uncontrollably.
If I gave consent, then at least I realise the potential risk and decided to be fully responsible for any consequences occur. But if it’s without my notice and consent, whom can I ask for any responsibility if something bad happen?
You can call me paranoid or whatever you like…but that is just our family principle.
Foto di Fesbuk contohnya, itu bisa didownload orang dengan mudah lho, tanpa mengurangi kualitas pula. Seram amat kalau tuh foto di akses sama pengidap pedofilia misalnya T_T.
My children can decide by them selves later how far they would protect their “very personal right”, when they’re big enough to understand the relevant risks.
Things that we will definitely teach them early enough as well.

Dan saya yakin seyakin-yakinnya bahwa saya tidak sendiri, pasti ada juga orang Indonesia lain yang berfikiran sama seperti saya, meskipun mungkin tidak banyak.
Tapi bagi kita yang tinggal di Jerman, jumlah orang Indonesia yang sepaham dengan saya itu tidak terlalu signifikan… karena kita toh jauh lebih mungkin untuk menghadapi masalah gara-gara ini dengan orang Jerman daripada dengan orang Indonesia.
Demi menghindari masalah, tidak ada salahnya bertanya dulu… kecuali anda 100% yakin yang bersangkutan sama karakternya seperti anda dan ngga keberatan foto dirinya dan anaknya dipamerin dimana-mana hehehe.
Ah ya: saya juga jadi ingat dulu ada teman yang upload foto di tempat kerjanya sebagai “perawat” dan ada pasien yang ikut terpotret. Hanya sesaat saja terpajang dan kemudian langsung dihapus karena yang bersangkutan langsung teringat kalau dalam surat kontrak kerja jelas tertera larangan mempublikasikaan foto bersama pasien, konsekuensi bisa dipecat.
Ini cuma salah satu contoh yang ingin saya bagikan, betapa seriusnya isu ini untuk dipikirkan.
Selamat berakhir pekan… 🙂

Source:

https://www.rechtambild.de/2015/01/urheberrecht-vs-persoenlichkeitsrecht/


https://boehmanwaltskanzlei.de/kompetenzen/medienrecht/urheberrecht/urheberrechtsschutz/voraussetzungen/645-rechte-des-urhebers-urheberpersoenlichkeitsrechte-und-verwertungsrechte

https://www.medienrecht-urheberrecht.de/fotorecht-bildrecht/158-recht-am-eigenen-bild-personenfoto.html


 

6 responses »

  1. Setuju sama ulasannya mbak. Seharusnya untuk mengunggah dan memasang foto dengan ijin sipemilik . Belum tentu orang (atau anaknya) yang diphoto senang kalo photonya beredar nggak jelas di dunia Maya. Respect terhadap object photo manusia masih bisa dibilang kurang di Indonesia (ngerasain sendiri ). Mereka cuma mikir, nih kameraku, Kitakan Poto rame2. Yah, walaupun rame2, kan tetap bukan untuk konsumsi publik. Thanks for sharing, jadi lebih mengerti mana yang tidak boleh dan dibolehkan. Salam kenal mbak ya.

    Like

    • Makasih ya udah mampir, Salam kenal juga. Iya benar. Jika ngakunya memang teman baik, mestinya cukup tahu lah sejauh apa sang temen membutuhkan perlindungan privacy dan bisa pula menghormatinya. You don’t need to always understand why, but if it’s your important for your friends then please just respect it 😊. Ngga perlu UU untuk itu. Masa sama temen sendiri pake butuh ancaman hukum segala, temen macam apa dong itu namanya.. Ya nggak?!? Penerapan paksa UU harusnya cm di butuh kan utk menjaga situasi “damai” dan menyelesaikan masalah antara mereka yg tidak punya hubungan personal saja.

      Like

  2. Eh bener banget ya mbak..orang di luar sama di tanah air beda banget. Aku liat teman2 latah mengupload. apa apa di upload..anak mandi di upload..adduuuh risih banget liatnya…belum lagi photo2 pribadi yang nggak pantes dishare kesemua umat…Sama halnya dengan share postingan2 yg terakhir ini ya..nggak perduli ada yg sakit hati, main cuap aja. Kalau ada teman Muslim yang berempati buat anak yang meninggal dan korba kena bom Samarinda kok malah kena maki..dibilang nggak pantes, mereka itu kafir..terang2 an gt di fb..lah kalau mau negur juga mbok ya di inbox…gagal faham aku…

    Like

    • Kalau di Inbox kan ntar nggak keliatan “religius” nya 😁😃😆. You know, orang yang bener2 religius itu justru orang2 yang ngga butuh memamerkan level keimanannya. Karena yang berkepentingan soal itu cuma Tuhan sesembahan dia kan. Well, ibarat kekayaan. Yang bener2 kaya pada umumnya ngga merasa butuh lah setiap saat ngobral cerita berapa harga tasnya, berapa sering dia beli sepatu branded, siapa aja designer Favoritnya dan semacam itulah. Apalagi kalau ngga krn ada yg kebetulan nanya. Krn tanpa hrs pamer aja udah ketahuan kalau dia kaya. Ibaratnya pake aksesoris dari 1 Dollar Shop aja bisa-bisa dikira orang bikinan designer wkwkkwwk. Yang suka pamer berlebihan itu justru yg ngga beneran kaya. Nah, dalam beragama juga sama ajalah. You don’t need to convince anyone about your religiousity. If you are religious then you just are. The more you try to show it up, the more it shows how insecure your are about it 😂😂😂.
      Nah kembali soal Foto… Yah, Kultur Kita emang gitu, ngga begitu peduli sama yg namanya privacy, krn itu mereka jg sulit memahami kenapa orang lain begitu hati2 dgn privacy. Well, it’s their own decision though, but if you’re no longer living in your home town, then please just be aware of a new custom and laws. Otherwise you might get serious problem. Itu aja sih intinya.

      Like

  3. Saya belajar hati-hati mengunggah foto orang di media sosial, apalagi kalau anak-anak ya. Biasanya keponakan saya gak pernah kelihatan mukanya. Kasihan kalau dia dewasa ada jejak maya tertinggal dan mereka gak punya kuasa untuk hapus.

    Anyway, aku setuju untuk hati-hati unggah foto, walaupun prakteknya susah kalau unggah foto yang tiba-tiba ada orang tak dikenal lewat.

    Like

    • Nah itu dia, kalau udah terlanjur di Net, ngga akan pernah hilang sepenuhnya. Belum tentu si bocah akan suka kalau gambar mereka tersebar dimana mana. Apalagi kebanyakan yang diuplot itu Foto bocah kalau lagi berbuat konyol yang bikin orang dewasa ketawa, jd hiburan.
      Btw…disini kalau melihat Dr sisi legal, jika Foto orang yg terambil terjadi ditempat terbuka, taman umum Misalnya, dalam acara parade atau karnaval misalnya…Apalagi kalau tdk jd Fokus Foto, dan tidak bisa dikenali dengan jelas mukanya… Itu masih bs di Kategorikan ngga terlalu masalah lah. Dan biasanya kan Foto yang ngga Fokus itu emang “blur”, apalagi kalau muncul nya tiba2 tak terduga, gambarnya biasanya tdk akan tajam. So, not much to worry sebenarnya.

      Liked by 1 person

Leave a comment